Pages

Sunday, March 27, 2011

Profil Pengusaha

Profil
Nama : Muhamma Ali
Lahir : Sawai, 18 Agustus 1962
Pendidikan : Kelas V SDN Sawai
Pekerjaan : Pemilik Pondok Wisata Lisar Bahari di Sawai

Bisnis
Jenis : Pengembang Pondok Wisata di Sawai Provinsi Maluku
Omset : Tak Tentu
Aset : 1. Pondok Wisata Lisar Bahari di Sawai
2. Lembaga Pendidikan Nonformal “Gabah Mapan”
3. Penangkaran Kakatua Seram (Cacatua Moluccensis)

History
Penginapan Pondok Wisata Lisar Bahari, Lembaga Pendidikan Nonformal untuk mereka yang putus sekolah, dan Penangkaran Kakatua Seram (Cacatua Moluccensis) yang dilindungi merupakan saksi bisu atas perubahan yang Ali lakukan untuk Sawai. Sawai di pesisir pantai utara Pulau Seram, yang 15 tahun lalu nyaris tidak pernah terdengar, kini berubah menjadi rujukan wisata. Dalam setahun, sedikitnya 500 wisatawan, mayoritas dari mancanegara, mengunjungi Sawai.
Penduduk Sawai yang putus sekolah diberi kesempatan kedua mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan nonformal yang dibuat Ali tahun 2007 secara gratis. Ali juga mengubah kepedulian warga akan lingkungan. Warga menjadi lebih peduli akan kelestarian hutan dan satwa didalamnya, begitu pula terumbu karang dan beragam ikan diantaranya.
Sebelum tahun 1996, Ali justru menggantungkan hidupnya pada hasil menebang pohon di beberapa hutan di Pulau Seram. Kini dia tidak pernah membayangkan perubahan drastis terjadi pada dirinya, apalagi mampu membawa perubahan bagi Sawai. Ijazah sekolah dasar tidak pernah dipegang Muhammad Ali (48). Namun dia justru menjadi motor perubahan di kampungnya, ia putus sekolah karena kesulitan biaya, seputus sekolah pada saat usia masih 12 tahun, dia harus masuk keluar hutan mengolah kopra atau menebang pohon.
Titik Awal
Sebuah tayangan program pariwisata di TVRI tahun 1996, yang mengangkan pariwisata di Bali dan Sulawesi Utara, memunculkan ide dan menjadi titik awal perubahan hidupnya. Saat itu telivisi baru pertama kali masuk di Sawai dan TVRI merupakan satu-satunya pilihan tontonan. Program itu menanyangkan keindahan bawah laut, pantai, dan berjalan (tracking) di hutan yang masih lestari bisa menarik wisatawan datang. “ia berfikir Sawai punya semua itu”.
Awalnya dibangunlah rumah panggung di atas laut. Lokasinya terpisah dari perkampungan warga Sawai yang 40 persen rumahnya memang di bangun di atas laut. Rumah untuk penginapan itu dibangun dengan tiga kamar. Kemudian bapak dari dua anak ini mengelilingi sawai dan melakukan pendataan; mulai dari pantai berpasir putih, lokasi snorkeling, hingga jalur tracking dihutan yang mengelilingi sawai. Jalan setapak untuk tracking disediakan agar turis bisa melihat beragam satwa pulau Seram atau aktifitas warga, seperti mengolah sagu atau memetik buah kelapa.
Tak berselang lama usahanya berbuah hasil, Sawai dikunjungi wisatawan dari Amerika Serikat yang dibawa salah satu biro perjalanan wisata di Ambon. Dari situlah keindahan Sawai mulai dikenal. Beragam terumbu karang, warna-warni ikan karang, hutan yang masih lestari, dan beraneka satwa didalamnya menjadi sajian menarik. Namun, saat turis mulai berdatangan, konflik horizontal terjadi di maluku tahun 1999. Turis tidak ada lagi yang datang. Penginapan pun mati hingga sekitar tahun 2005.
Untuk memulai kembali, bukan perkara mudah. Ali harus bolak-balik ke Ambon, mendatangi setiap hotel dan biro perjalanan wisata. Dia juga mendatangi sejumlah pemandu wisata untuk menyosialisasikan Sawai. Upayanya selama enam bulan pun berbuah hasil. Wisatawan kembali berdatangan. Secara bertahap, Ali pun bisa mengembangkan penginapannya hingga kini sudah ada 15 kamar yang disiapkan bagi wisatawan yang berkujung. Dari turis mancanegara itulah, dia mengenal dan perlahan-lahan belajar bahasa Inggris.
Tidak terasa persinggungannya dengan banyak turis mancanegara itu membawa perubahan lain. “tidak sedikit turis marah saat melihat orang menenbak burung, menebang pohon, atau melihat menangkap ikan dengan bom ikan. Dia pun menjadi kian sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan yang mengelilingi Sawai. Punahnya hutan dan rusaknya terumbu karang akan membawa malapetaka bagi Sawai. Mulailah Ali mendekati warga satu persatu, menyadarkan mereka akan pentingnya hutan, satwa, terumbu karang, sampai pentingnya sanitasi lingkungan, “walaupun semula mereka berfikir, saya melakukan semua ini hanya untuk kepentingan saya sendiri, padahal bukan itu maksud saya”.
Dia pun tetap menyadarkan masyarakat. Misalnya kelompok warga yang pernah berburu kakaktua seram, dimintai tolong untuk mengantar turis tracking. Lambat laun kepedulian warga akan lingkungan pun tumbuh, apalagi mereka mendapat honor dari Ali ataupun tip dari turis. Kini, mereka tidak lagi berburu burung. Ali kemudian berinisiatif melestarikan burung kakatua dengan membangun penangkaran kakatua seram di Masihulan, Sawai. Ia mendekati satu persatu nelayan yang biasa menggunakan bom untuk menangkap ikan. Kini tidak ada lagi nelayan yang menggunakan cara tersebut. Warga juga di ingatkan untuk tidak membuang sampah di laut.
Tahun 2007, perubahan lain terjadi kapada Ali. Dia iba dengan banyaknya warga Sawai yang putus sekolah karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah. Ia pun membangun lembaga pendidikan nonformal bernama “Gabah Mapan” di salah satu ruangan di penginapannya. Ada 60 orang yang sempat mengenyam pendidikan di sana saat lembaga itu baru berdiri. Kini jumlah muridnya sudah sekitar 100 orang. Lima guru yang mengajar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama diajaknya untuk mengajar disana.
Meski mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membangun lembaga pendidikan tersebut, lebih dari 100juta, Ali tidak memungut biaya sepeserpun dari mereka. Dalam waktu dekat, Ali bermaksud mengembangkan lembaga pendidikannya itu sehingga bisa mengajarkan komputer kepada warga Sawai. “Sawai memang desa terpencil, jauh dari kota. Tetapi, jangan sampai anak-anak Sawai ikut ‘terpencil’,” katanya.