Pernyataan Presiden Obama bahwa ekonomi global tengah berada di sebuah titik balik pada penutupan pertemuan G-20 di London adalah suatu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi ekonomi-politik dunia aktual.
Banyak hal menunjukkan bahwa lanskap ekonomi-politik dunia memang telah mengalami perubahan besar.Posisi Amerika Serikat (AS) yang sejak pasca-Perang Dunia (PD) II menjadi pusat gravitasi ekonomi dunia melalui The Fed,kontinuitas pertumbuhan ekonomi dan konsumsinya yang besar sekarang dalam masalah berat. G- 20 telah menjadi klub elite baru di panggung dunia,menggantikan G- 7 (AS, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Kanada, dan Italia) yang selama puluhan tahun telah menjadi pengendali pergerakan ekonomi dunia.
Interdependensi semakin meningkat dan koordinasi yang lebih baik antarnegara-negara besar secara ekonomi baik negara maju maupun negara berkembang semakin diperlukan. Secara kawasan, Asia menjadi menonjol. Negara-negara Asia anggota G-20 selain semakin mendominasi perekonomian global, juga memiliki peran yang lebih besar dalam menyelamatkan dan membentuk kembali sistem perekonomian global. Salah satu simbolnya, China bakal mendapatkan suara lebih besar dan kepemimpinan di IMF serta Bank Dunia, menghentikan dominasi AS dan Barat.
Terjadinya pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia bukanlah suatu kejutan. Dekan Asian Institute Management (AIM) Gracia S Ugut menyatakan bahwa krisis ekonomi yang dialami AS sejak 2007 telah mempercepat terjadinya proses itu. Lembaga konsultan bisnis dan keuangan Goldman Sach dalam laporan tahunan Global Economic Paper yang berjudul Dreaming With The BRIC’s: The Path to 2050 yang diterbitkan Oktober 2003 memprediksikan bahwa di antara 5 besar ekonomi dunia pada 2040, yaitu China, AS, India, Jepang dan Jerman, tiga di antaranya ada di Asia.
Banyak kalangan di dalam negeri tak mengetahui bahwa Indonesia juga diperhitungkan sebagai salah satu negara Asia yang akan tumbuh menjadi kekuatan global baru dan menduduki posisi terhormat dalam perekonomian dunia mendatang. Apa target Indonesia dalam pergeseran peta kekuatan global dan momentum kebangkitan Asia tak termasuk tema yang dianggap penting untuk dijadikan diskusi publik dan materi kampanye partai politik selama masa kampanye Pemilu Legislatif 2009 kemarin.
Sebaliknya, para aktivis HAM lokal kerap menggambarkan Indonesia sebagai bangsa paria dalam pergaulan internasional. Organ intelijen Pemerintah AS,National Intelligence Council (NIC),yang menghimpun analis intelijen senior negara adidaya itu telah dua kali secara konsisten menyebutkan posisi Indonesia sebagai bagian dari Asia yang diperhitungkan dalam pergeseran peta kekuatan global. Pertama,pada 2005,NIC mengekspos kajian berjudul Rising Powers: The Changing Geopolitical Landscape 2020.
Intisari dari laporan tersebut menyebutkan bahwa dunia pada 2020 adalah dunia yang kompleks dan akan diwarnai dengan hadirnya kelompok negara yang sedang bangkit pengaruhnya dan memiliki peran yang semakin penting dalam ekonomi global, yaitu China, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Brasil. Kedua, dalam mengantisipasi dampak krisis finansial AS, NIC melakukan studi berjudul Global Trends 2015 yang diumumkan di Washington pada 20 September 2008.
Kesimpulan studi tersebut menyebutkan bahwa krisis keuangan di Wall Street adalah tahapan awal pembentukan tatanan baru ekonomi global. Pamor AS di bidang politik, ekonomi, dan militer memudar dan Asia akan menjadi sentra manufaktur dan sektor jasa lain. China dan India mungkin bergabung bersama AS, membentuk dunia multipolar. Posisi Rusia tak pasti, tergantung dari kekuatan energi dan pengembangan investasi. Iran, Turki, dan Indonesia mencoba berebut pengaruh.
Kekayaan global juga sedang berpindah dari negara maju di Barat ke Timur Tengah, Rusia, dan Asia. Pembentukan tatanan keuangan global baru terjadi lebih cepat dari yang diduga. Forum G-20 yang semakin penting menunjukkan hal itu. Laporan lain dari Goldman Sach dalam Global Economic Paper mengenai prediksi perekonomian global 2050 menyebutkan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 7 dunia setelah China, AS, India, Jepang, Rusia, dan Brasil, melampaui Korea Selatan, Turki, Prancis, Inggris, Jerman, Italia, dan Kanada.
Sementara Price Waterhouse and Cooper (PWC) dalam studi berjudul The World in 2050 menyebutkan bahwa pada 2050 akan ada kelompok negara besar yang disebut sebagai E-7. Kelompok negara elite ini berturut-turut berdasarkan kekuatan ekonominya terdiri atas AS, China, India, Jepang, Brasil, Indonesia,dan Rusia. Majalah ekonomi terkemuka The Economist terbitan London dalam laporan berjudul The World in 2007 menyebutkan bahwa Indonesia ada pada urutan ke-21, sedangkan pada 2004 masih berada di urutan ke-26 dunia.
Pada 2008, Indonesia ada di peringkat ke-20 melampaui Taiwan, pada 2010 melampaui Swiss, Swedia, dan Belgia dengan PDB sebesar USD550 miliar. Pada 2025 Indonesia akan berada di posisi ke-14 dunia. Bagaimana nilai strategis Asia dan Indonesia dalam tatanan dunia mendatang juga terlihat dari peristiwa yang baru sekali ini terjadi dalam sejarah, yaitu kunjungan Menlu AS Hillary Clinton tidak ke Eropa sebagaimana tradisi selama ini, tetapi ke Jepang, Indonesia, China,dan Korea Selatan. Kekuatan Asia yang bangkit juga terlihat di lingkup korporasi.
Asia melalui perusahaan-perusahaan dan pebisnis raksasa kelas dunianya telah menjadi tuan rumah di benuanya sendiri. Dunia telah mengenal Sogo Sosha Jepang dan Chaebol Korsel sebagai perusahaan kelas dunia. Gelombang besar internasionalisasi perusahaan- perusahaan besar China dan India sedang datang menyusul. Negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Qatar, Uni Ermirat Arab juga sudah aktif mengembangkan perusahaan transnasionalnya.
Di Indonesia,Krakatau Steel dilirik oleh raksasa baja asal India, Mittal, Indosat dioper kepada Q-Tel dari Qatar,Telkomsel dimilikiTemasek Singapura,Lippo Bank dimiliki Khazanah-Malaysia; BCA, BII, dan Bank Buana dimiliki perusahaan Singapura. Singapura juga telah berekspansi ke sektor telekomunikasi di Australia,Thailand, Filipina,dan India. Indonesia diharapkan menjadi bagian dari Asia yang memainkan posisi kunci dalam ekonomi dunia.
Namun,signifikansi peranan Indonesia di masa mendatang amat ditentukan oleh strategi pemerintah dan dunia usaha nasional dalam menindaklanjuti kesepakatan forum G-20 mengenai perundingan liberalisasi perdagangan dengan akses pasar lebih besar bagi negara berkembang. Pasar yang semakin terbuka membuat kompetisi di antara negara-negara berkembang bertambah sengit.Dengan kecerdikan masing-masing,semua negara berkembang akan bersaing untuk mendapatkan akses pasar lebih besar.
Dalam konteks ini, China telah mengambil langkah strategis untuk memenangi persaingan dengan menjajaki akuisisi terhadap sejumlah perusahaan di Eropa. Maret lalu, delegasi bisnis tingkat tinggi China mengunjungi sejumlah negara Eropa. China saat ini berlaku seperti Jepang pada dekade 80-an yang gencar melakukan outbound investment dalam rangka akuisisi atas sejumlah perusahaan dunia. Sebelumnya, China sudah menggarap AS. Dalam lima tahun terakhir, beberapa perusahaan terkemuka AS juga mulai jatuh ke tangan korporasi China.
Raksasa IBM adalah salah satunya. Pemerintah AS dan China pertengahan tahun 2008 lalu meneken kesepakatan bilateral berupa pakta perlindungan investasi korporasi AS di China dan korporasi China di AS. Menurut Li Jian, peneliti di China Academy of International Trade and Economic Cooperation, China saat ini semakin tertarik pada merger skala dunia.
Langkah ini membuat China bukan saja lebih mampu mendekati pasar, tetapi juga mengatasi hambatan-hambatan perdagangan. India juga berupaya melakukan hal yang serupa.Taktik China dan India dalam membuka akses pasar serta mengakuisisi knowledge dan teknologi dengan kegiatan outwardFDI atau outbound investment perlu dipertimbangkan Indonesia. Sulit bagi Indonesia untuk mengembangkan akses pasar jika pemerintah dan dunia usaha nasional hanya ingin menggenjot ekspor dari basis produksi di dalam negeri.
Apalagi jika hanya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi industri relokasi dari luar negeri. Indonesia perlu mengeksplorasi keunggulannya di bidang natural resources base. Contohnya, sebagai salah satu produsen cokelat terbesar dunia, Pemerintah Indonesia dapat mendorong perusahaan nasional mengakuisisi pabrikan cokelat di Eropa dan AS. Selain membuka akses pasar, hal ini juga membuat Indonesia bisa meningkatkan nilai tambah industri cokelat domestik melalui integrasi industri hulu-hilir.
Di era ketika ekonomi dunia sedang direstrukturisasi, Indonesia jangan berpuas diri hanya menjadi host country bagi kegiatan investasi multinasional asing yang untuk saat ini dan ke depan akan didominasi oleh multinasional dengan home country di negaranegara Asia. Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum kebangkitan ekonomi Asia.(*)
Penulis: Ketua Dewan Direktur InaGoInvest
Sumber: Harian Seputar Indonesia
No comments:
Post a Comment