Tantangan Profesi Internal Auditor: Road Map for Governance Policy Period 2007-2030
Perkembangan implementasi CG diawali dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan prinsip GCG diikuti dengan pembentukan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG). Hal tersebut dilakukan pada saat Republik Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang melemahkan sendi-sendi perekonomian negara. Melalui adopsi prinsip GCG tersebut diharapkan kegiatan perekonomian Nasional dapat segera pulih dan mampu berakselerasi lebih cepat, karena salah satu penyebab rentannya NKRI dalam menghadapi krisis adalah lemahnya penerapan GCG (ADB, 2000). Namun demikian, pada awal periode adaptasi prinsip CG tersebut di awal tahun 1997 tingkat awareness dari masayarakat atau pelaku bisnis belum sampai pada tahapan substantif. Dengan kata lain praktek-praktek governance yang berjalan masih bersifat sebagai sebuah kewajiban ketimbang kebutuhan..... form over substance.
Di dalam perjalanan penerapan prinsip CG hingga satu dekade berikutnya, fase penerapan CG di Indonesia masih berada dalam tahap introduksi dan berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian (awareness) terhadap berbagai aspek CG. Dalam periode ini, peranan pemerintah terlihat masih sangat dominan, sementara para pelaku bisnis, terutama non-multinational companies masih belum sepenuh hati di dalam menerapkan CG. Hal ini diduga disebabkan oleh karena belum terdapat bukti dan manfaat nyata (tangible) dari penerapan CG yang dilakukan. Namun demikian, dengan semakin gencarnya pemerintah untuk mendorong penerapan CG, terutama setelah mewajibkan perusahaan Publik dan BUMN sebagai lokomotif pengembangannya, maka telah dapat diamati terjadinya peningkatan yang signifikan dari implementasi CG. Minimal hal ini tergambar dari semakin banyaknya (kuantitas) perusahaan dan organsiasi lainnya yang mengadopsi CG.
Dari sudut pemerintah dan berbagai pihak, perkembangan penerapan CG dalam dekade pertama ini, juga ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup signifikan sebagai “daya ungkit” (leverage) dalam upaya implementasi CG secara substantif. Disamping berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi praktik CG (seperti untuk BUMN, perusahaan yang Go-publik, institusi perbankan), maka telah dilakukan perbaikan terhadap lembaga KNKCG. Lembaga yang awalnya menggunakan nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) selanjutnya berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Perubahan nama lembaga juga ini juga diikuti dengan perubahan paradigma pendekatan implementasi governance secara sistematis. Hal ini terbukti dengan memperhatikan governance untuk sektor publik (public sector governance), karena secara sistem keberadaan institusi publik berhubungan dengan institusi privat seperti perusahaan atau corporate.
Perkembangan institusi menjadi KNKG juga menandai perlunya perhatian yang berimbang antara implementasi CG di dua sektor utama tersebut; institusi korporasi yang bergerak di sektor riil dan institusi publik yang bergerak dan berhubungan dengan penyediaan infrastruktur dan kebijakan (termasuk moneter) yang akan mendorong berjalannya sektor korporasi secara lebih baik. Disamping perbaikan institusi KNKG, perkembangan lainnya yang dominan selama periode awal ini adalah dengan dikeluarkannya Pedoman CG baru (versi 2006) yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari pedoman CG (governance code) versi tahun 2000. Namun demikian, terlepas dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, implementasi CG di Indonesia belum mencapai tahap optimal yang diharapkan. Kurva PEM Governance pada gambar 1 di atas, memperlihatkan pasang surut implementasi CG selama periode tersebut, walaupun telah mengalami peningkatan yang berarti.
1. Tahap Introduction
Pada tahap sebelumnya (1997-2007) diasumsikan telah dilalui tahap Awareness. Pada tahapan ini “aware” (peduli) berhubungan dengan pemahaman terhadap keberadaan (apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana) terhadap berbagai aspek CG. Hal ini telah dilakukan melalui “sosialisasi dan komunikasi” terhadap stakeholders (internal and eksternal) dari setiap organisasi yang menerapkan governance. Dalam jangka waktu satu dekade dan diikuti dengan berbagai upanya nyata oleh berbagai pihak, maka tahapan ini dapat dianggap telah dilalui secara baik. Dengan demikian, untuk periode berikutnya (2007-2016), diharapkan fase implementasi CG di Indonesia telah dapat memasuki tahap berikutnya walaupun masih dalam kualitas penerapan masih mengacu kepada “conformity”.
2. Tahap Conformance
Pada tahap conformance di periode 2007-2016, akan dilalui tiga tahapan berikutnya yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, tahapan understanding atau memahami isu CG melebihi prinsip-prinsip dasar yang ada (TARIF), sehingga komunikasi menjadi lebih intensif karena memunculkan berbagai pertanyaan substansial tentang CG dan penerapannya. Pada penerapan ini, seharusnya para pelaku bisnis yang menerapkan CG sudah harus mempunyai kreangka pikir “beyond compliance” sehingga esensi dari CG telah dapat dipahami dengan baik. Namun demikian,pemahaman secara baik saja tidak cukup untuk mencapai penerapan kualitas CG yang lebih baik. Untuk itu diperlukan tahapan berikutnya berupa keinginan dari berbagai pihak untuk menerapkan CG secara sadar dan substansial.
Tahapan willingness to adopt berhubungan dengan pemahaman terhadap isu substantif CG, dengan pengertian bahwa CG tidak mempunyai arti jika tidak diikuti oleh keinginan (willingness) dari seluruh perangkat organisasi terkait untuk mengadopsi dan menerapkannya di dalam organisasi. Di dalam hal ini yang diperlukan adalah kesediaan untuk merubah cara berpikir (mindset) melalui change management yang terencana secara baik. Pada tahapan ini diasumsikan bahwa keinginan menerapkan perlu dilakukan untuk dapat memasuki tahapan substansial berupa komitmen untuk menerapkannya.
Pada tahapan commitment, pemahaman dan kesediaan menerima dan menerapkan prinsip governance sangat ditentukan oleh komitmen seluruh stakeholder di dalam mendukung implementasi CG (secara formal ditandai dengan penandatanganan pakta integritas, governance charter dan sebagainya). Jika dihubungkan dengan proses sekuensial penerapan CG sebelumnya, maka komitmen menerapkan ini tidak akan dapat dilakukan jika para governance stakeholders tidak peduli (aware) dengan keberadaan dan manfaat CG, tidak memahami (understanding) fungsi dan peranan serta tujuan CG yang dilanjutkan dengan adanya “niat” (willingness) untuk menerapkannya.
Upgrading posisi implementasi CG di Indonesia ke level medium diperkirakan akan terjadi pada tahiun 2012 yang diperkirakan terjadi pada tahapan “willingness to adopt”. Namun demikian hal ini hanya bisa di capai jika tahapan dan proses sebelumnya dilalui dengan baik serta memperoleh hasil optimal. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan posisi ini baru dapat di up-grade setelah memasuki tahapan committment. Sehingga dapat disimpulkan bahwa percepatan implementasi CG dan capaian (outcomes) dari hasil implementasi tersebut sangat ditentukan oleh partisipasi dan dorongan semua pihak atau stakeholders yang terlibat di dalam sistem governance.
3. Tahap Performance and Improvement
Diperkirakan, penerapan CG mencapai tahapan yang lebih baik (good) setelah memasuki periode ke tiga (2016-2022). Hal ini hanya dapat terlaksana jika semua proses sebelumnya dilalui secara baik. Pada tahapan ini esensi penerapan CG diperkirakan sudah memasuki tahapan performance. Pada tahapan ini seluruh perangkat organisasi (sub-system) telah menerapkan CG didukung perubahan mindset yang ada, sehingga muncul slogan “from conformance to performance”.
Pada tahapan ini, dengan asumsi seluruh perangkat governance yang dibutuhkan (governance structure dan governance system/termasuk governance mechanism) telah berjalan secara baik , maka outcomes “awal” dari implementasi governance seharusnya sudah dapat dirasakan (e.g. reduce of conflict of interests, improved performance, efficient allocation of resources dll). Sesuai dengan sudut pandang bahwa governance sebagai suatu system dan berada dalam suatu system yang lebih besar (NKRI), maka pada tahapan ini juga diperlukan pemahaman dan jaminan terhadap sustainability dari implementasi CG. Hal ini hanya dapat dicapai jika organisasi bersifat “dinamis” terhadap perubahan lingkungan serta melakukan berbagai “perubahan” secara “proaktif” (bukan reaktif). Pada tahapan lebih jauh, implementasi governance seharusnya sudah menjadi “jiwa” (soul) dari setiap individu dan elemen organisasi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Sehingga pada tahapan ini CG sudah menjadi “embedded culture” dalam setiap organisasi. Pada tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menjaga sustainablity penerapan CG secara substansial.
4. Tahap Sustainable
Pada tahap ini, terlepas dari berbagai uraian di atas, perlu dicatat beberapa hal berikut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi CG di Indonesia sesuai dengan format yang telah direncanakan.(1) Setiap organisasi dengan kondisi internal (walaupun berada dalam kondisi eksternal yang relatif sama dan uncontrollable) adalah berbeda, dan pada akhirnya akan memperoleh hasil penerapan CG secara berbeda pula. (2) diagnosis yang tepat terhadap kondisi organisasi serta desain system CG yang sesuai (appropriate) sangat menentukan tingkat kesuksesan implementasi CG. (3) Untuk kondisi Indonesia, tahap conformance (stage 1) telah berjalan cukup lama (1997-2007), namun belum mencapai/memasuki tahap performance (stage 2), diantaranya diduga karena tidak dapat melalui tahapan dalam stage 1 secara baik dan gradual. (4) Faktor eksternal terhadap kesuksesan implementasi CG (seperti rules and regulations, enforcement & culture) belum mendukung sepenuhnya penerapan CG di Indonesia. Dengan demikian diperlukan adanya dukungan dari seluruh elemen sub-sistem di dalam memperkuat CG sistem yang ada di dalam menjamin implementasi dan pencapaian CG outcomes.
Kesimpulan
Pada saat ini hasil penilaian atas good governance Negara Indonesia oleh Transparansi Internasional masih menunjukkan capaian dibawah angka ‘phychologis’ (4 dari skala 10). Sejak krisis ekonomi tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 hasil penilaian good governance negara Indonesia masih berkisar angka + 2,5. Dalam kacamata Governance, masih rendahnya capaian penilaian good governance ini memberikan indikasi bahwa governance Indonesia masih dalam tahap pengenalan ‘introduction’ yaitu masih bersifat kepedulian ‘awareness. Pada tahapan ini praktek-praktek good governance masih mengejar untuk memenuhi formalitas dibandingkan substansinya (forms over substance).
Ke depan praktek-praktek good governance atas sistim anggaran sudah harus ditambah dengan spirit pemahaman ‘understanding’, keinginan ‘willingness’, dan komitmen ‘commitment’. Hijrah dari forms over substance menuju substance over forms membutuhkan penyempurnaan mekanisme governance dengan aura ketiga spirit tersebut. Mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme governancenya, Insya Allah dalam waktu 5 (lima) tahun ke depan Negara Indonesia sudah bisa melewati angka phychologis nilai 4. Tantangan Fungsi Internal Auditor ke depan adalah bagaimana menilai praktek-praktek CG untuk mendapatkan update mekanisme governance yang ada sehingga selalu terjadi continous and feedback control dalam upaya selalu menciptakan better performance dan better competition. Untuk itu profesi internal auditor harus selalu mengedepankan capaian parameter governance yang handal (credible score for 4C).
Wednesday, December 8, 2010
Peluang Profesi Akuntansi di Indonesia
Profesi Akuntan Publik Masih Langka
Profesi akuntan publik di Indonesia dinilai masih sangat langka, padahal kebutuhan profesi tersebut bagi lembaga keuangan dan perusahaan sebagai tenaga audit sangat tinggi. Akibat kelangkaan profesi itu, maka peluang menjadi akuntan sangat terbuka lebar.
Demikian salah satu poin penting yang terungkap dalam seminar akuntansi bertema ‘’Perkembangan Terkini Praktik Akuntan Publik dan Dampaknya Program Studi Akuntansi’’ di Hotel Beringin Salatiga. Seminar yang dimoderatori Dosen FE UKSW itu, menghadirkan pembicara Ketua Umum IAPI dan Ketua Pengawas IAPI.
Ketua Umum IAPI mengatakan, dibandingkan Malaysia jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat kurang. Berdasarkan data Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), sampai saat ini akuntan publik yang memegang izin praktik sebanyak 866 orang. Anggota tersebut tersebar di 517 kantor, termasuk kantor cabang. ‘’Sedangkan jumlah akuntan di Malaysia 14 ribu orang,’’ kata staf pengajar FE Universitas Indonesia (UI) itu.
Pengawas IAPI mengungkapkan, kekurangan profesi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi negara tetangga lain, seperti Singapura. Sejumlah akuntan yang bekerja di lembaganya pernah dibajak perusahaan di luar negeri dengan iming-iming pendapatan lebih menjanjikan.
Etika Profesi Diakuinya, bila profesi akuntan publik itu berpotensi sebagai penjahat ‘’kerah putih’’ bila tidak dibarengi moral yang baik serta menjalankan etika profesi yang benar. Dia mencontohkan kasus kejahatan ‘’kerah putih’’ di luar negeri yang melibatkan akuntan.
Lalu sejalan dengan tingginya kebutuhan profesi akuntan, harus sinergi dengan universitas, seperti FE UKSW sebagai pencetak tenaga akuntan. Karena selama ini perguruan tinggi seakan berjalan seadanya, tanpa lihat misi sebagai akuntan. Adapun IAPI merupakan organisasi profesi akuntan publik di Indonesia yang telah diakui pemerintah mulai Februari 2008 lalu.
Anak Muda Tak Mau Jadi Akuntan Publik
Dewan Kehormatan Ikatan Akuntansi Publik Indonesia (IAPI) Sukrisno Agoes mengatakan, profesi akuntan publik tidak diminati kalangan muda dan fresh graduate (sarjana baru).
"Dari 430 kantor akuntan publik (KAP) dan 2 koperasi jasa audit (KJA) di Indonesia, sebagian besar personelnya didominasi kalangan orang tua," katanya pada seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung. Hadir pada kesempatan itu, Ketua IAPI Dra Tia Adityasih CPA dan sejumlah dosen Akuntansi Unpad.
Kurangnya minat kalangan muda karena profesi akuntan publik sangat berisiko. Namun, penghasilannya masih minim. Menurut dia, risiko yang dimaksud adalah akuntan harus mampu menjaga independensi karena mengaudit laporan keuangan BUMN. Ketua IAPI Tia Adityasih mengatakan, sampai sekarang, akuntan publik masih diatur oleh pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Seharusnya, jika akuntan publik terkena kasus hukum, Departemen Keuangan harus bertanggung jawab.
Selain itu, kata dia, sekarang banyak "akuntan palsu" yang bebas membuka praktik. Ini terjadi karena belum ada pengawasan dari pemerintah, sementara "akuntan palsu" tidak bertanggung jawab kepada lembaga profesi. "Berbagai kasus hukum yang dihadapi akuntan publik masih merupakan kasus pidana, dan maksimal hukuman penjara lima tahun, padahal seharusnya menggunakan kitab undang-undang hukum perdata," katanya.
Menurut Sukrisno, jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat sedikit, dan tidak sebanding dengan banyaknya laporan keuangan yang harus diaudit. Sejak disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan semua perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Sedikitnya ada 87 PTN dan 2.700 PTS yang laporan keuangannya harus diaudit.
Selain itu, menjelang pemilu, akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan partai politik, mulai dari parpol di pusat, hingga tingkat kabupaten. Padahal, jumlah akuntan publik saat ini masih sedikit. Terkait dengan kenyataan tersebut, Sukrisno kecewa terhadap pemerintah yang masih menganggap sepele profesi akuntan publik. Guru besar Akuntansi Unpad Prof Dr Ilya Avianti, SE MSi Ak, mengatakan, pekerjaan akuntan publik memang hanya ditujukan bagi orang-orang yang "hobi akuntansi".
Meskipun penghasilan dari profesi ini sedikit. Namun, dari segi kualitas hasil kerja, akuntan publik masih jauh di atas akuntan perusahaan. "Akuntan publik berkesempatan mengaudit laporan keuangan dari berbagai bidang sehingga pada 10 tahun mendatang akan ada perbedaan kualitas antara akuntansi publik dan akuntansi perusahaan," kata Ilya. Jadi sampai dengan hari ini peluang profesi akuntansi di Indonesia masih sangat terbuka lebar.
Profesi akuntan publik di Indonesia dinilai masih sangat langka, padahal kebutuhan profesi tersebut bagi lembaga keuangan dan perusahaan sebagai tenaga audit sangat tinggi. Akibat kelangkaan profesi itu, maka peluang menjadi akuntan sangat terbuka lebar.
Demikian salah satu poin penting yang terungkap dalam seminar akuntansi bertema ‘’Perkembangan Terkini Praktik Akuntan Publik dan Dampaknya Program Studi Akuntansi’’ di Hotel Beringin Salatiga. Seminar yang dimoderatori Dosen FE UKSW itu, menghadirkan pembicara Ketua Umum IAPI dan Ketua Pengawas IAPI.
Ketua Umum IAPI mengatakan, dibandingkan Malaysia jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat kurang. Berdasarkan data Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), sampai saat ini akuntan publik yang memegang izin praktik sebanyak 866 orang. Anggota tersebut tersebar di 517 kantor, termasuk kantor cabang. ‘’Sedangkan jumlah akuntan di Malaysia 14 ribu orang,’’ kata staf pengajar FE Universitas Indonesia (UI) itu.
Pengawas IAPI mengungkapkan, kekurangan profesi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi negara tetangga lain, seperti Singapura. Sejumlah akuntan yang bekerja di lembaganya pernah dibajak perusahaan di luar negeri dengan iming-iming pendapatan lebih menjanjikan.
Etika Profesi Diakuinya, bila profesi akuntan publik itu berpotensi sebagai penjahat ‘’kerah putih’’ bila tidak dibarengi moral yang baik serta menjalankan etika profesi yang benar. Dia mencontohkan kasus kejahatan ‘’kerah putih’’ di luar negeri yang melibatkan akuntan.
Lalu sejalan dengan tingginya kebutuhan profesi akuntan, harus sinergi dengan universitas, seperti FE UKSW sebagai pencetak tenaga akuntan. Karena selama ini perguruan tinggi seakan berjalan seadanya, tanpa lihat misi sebagai akuntan. Adapun IAPI merupakan organisasi profesi akuntan publik di Indonesia yang telah diakui pemerintah mulai Februari 2008 lalu.
Anak Muda Tak Mau Jadi Akuntan Publik
Dewan Kehormatan Ikatan Akuntansi Publik Indonesia (IAPI) Sukrisno Agoes mengatakan, profesi akuntan publik tidak diminati kalangan muda dan fresh graduate (sarjana baru).
"Dari 430 kantor akuntan publik (KAP) dan 2 koperasi jasa audit (KJA) di Indonesia, sebagian besar personelnya didominasi kalangan orang tua," katanya pada seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung. Hadir pada kesempatan itu, Ketua IAPI Dra Tia Adityasih CPA dan sejumlah dosen Akuntansi Unpad.
Kurangnya minat kalangan muda karena profesi akuntan publik sangat berisiko. Namun, penghasilannya masih minim. Menurut dia, risiko yang dimaksud adalah akuntan harus mampu menjaga independensi karena mengaudit laporan keuangan BUMN. Ketua IAPI Tia Adityasih mengatakan, sampai sekarang, akuntan publik masih diatur oleh pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Seharusnya, jika akuntan publik terkena kasus hukum, Departemen Keuangan harus bertanggung jawab.
Selain itu, kata dia, sekarang banyak "akuntan palsu" yang bebas membuka praktik. Ini terjadi karena belum ada pengawasan dari pemerintah, sementara "akuntan palsu" tidak bertanggung jawab kepada lembaga profesi. "Berbagai kasus hukum yang dihadapi akuntan publik masih merupakan kasus pidana, dan maksimal hukuman penjara lima tahun, padahal seharusnya menggunakan kitab undang-undang hukum perdata," katanya.
Menurut Sukrisno, jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat sedikit, dan tidak sebanding dengan banyaknya laporan keuangan yang harus diaudit. Sejak disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan semua perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Sedikitnya ada 87 PTN dan 2.700 PTS yang laporan keuangannya harus diaudit.
Selain itu, menjelang pemilu, akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan partai politik, mulai dari parpol di pusat, hingga tingkat kabupaten. Padahal, jumlah akuntan publik saat ini masih sedikit. Terkait dengan kenyataan tersebut, Sukrisno kecewa terhadap pemerintah yang masih menganggap sepele profesi akuntan publik. Guru besar Akuntansi Unpad Prof Dr Ilya Avianti, SE MSi Ak, mengatakan, pekerjaan akuntan publik memang hanya ditujukan bagi orang-orang yang "hobi akuntansi".
Meskipun penghasilan dari profesi ini sedikit. Namun, dari segi kualitas hasil kerja, akuntan publik masih jauh di atas akuntan perusahaan. "Akuntan publik berkesempatan mengaudit laporan keuangan dari berbagai bidang sehingga pada 10 tahun mendatang akan ada perbedaan kualitas antara akuntansi publik dan akuntansi perusahaan," kata Ilya. Jadi sampai dengan hari ini peluang profesi akuntansi di Indonesia masih sangat terbuka lebar.
Perkembangan Profesi Akuntansi di Indonesia
Data keuangan dan data ekonomi sangat diperlukan seiring dengan kemajuan perekonomian saat ini. Para pemilik atau penanam modal sudah menyebar ke segala pelosok daerah dan operasinya sudah tidak hanya di lingkungan dalam negeri namun sudah meluas hingga ke luar negeri. Modal yang ditanamkan dalam perusahaan harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Oleh karena itu, mereka sangat memerlukan laporan keuangan yang dapat dipercaya dari perusahaan dimana mereka menanamkan modalnya.
Bank-bank melakukan pengawasan dalam pemberian kredit agar uang yang dipinjamkan tersebut selamat dan menghasilkan bunga yang diharapkan. Sehingga mereka sangat memerlukan laporan keuangan guna menilai kemampuan ekonomi para nasabah atau calon nasabahnya. Dalam pasar modal juga sangat diperlukan laporan keuangan bagi perusahaan yang akan go public. Demikian juga pemerintah memerlukan laporan keuangan wajib pajak sebagai dasar penentuan pajak agar lebih obyektif. Pihak-pihak lain seperti calon kreditur, calon investor, serikat buruh, lembaga-lembaga keuangan serta industri lainnya juga sangat memerlukan laporan keuangan. Oleh karena itu laporan keuangan yang disajikan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga para pengambil keputusan yang mendasarkan diri pada laporan keuangan tersebut tidak tersesat. Hal itulah yang menjadikan peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan.
A. Sejarah Awal Profesi Akuntan
Profesi akuntan telah dimulai sejak abad ke-15 walaupun sebenarnya masih dipertentangkan para ahli mengenai kapan sebenarnya profesi ini dimulai. Pada abad ke-15 di Inggris pihak yang bukan pemilik dan bukan pengelola yang sekarang disebut auditor diminta untuk memeriksa apakah ada kecurangan yang terdapat di pembukuan atau di laporan keuangan yang disampaikan oleh pengelola kekayaan pemilik harta.
Menurut sejarahnya para pemilik modal menyerahkan dananya kepada orang lain untuk dikelola/dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Kalau kegiatan ini belum besar umumnya kedua belah pihak masih dapat saling percaya penuh sehingga tidak diperlukan pemeriksaan. Namun semakin besar volume kegiatan usaha, pemilik dana kadang-kadang merasa was-was kalau-kalau modalnya disalahgunakan oleh pengelolanya atau mungkin pengelolanya memberikan informasi yang tidak obyektif yang mungkin dapat merugikan pemilik dana.
Keadaan inilah yang membuat pemilik dana membutuhkan pihak ketiga yang dipercaya oleh masyarakat untuk memeriksa kelayakan atau kebenaran laporan keuangan/ laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana. Pihak itulah yang kita kenal sebagai Auditor.
B. Perkembangan Profesi Akuntan
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi ke dalam 4 periode yaitu:
1. Pra Revolusi Industri
Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal adanya dua juru tulis yang bekerja terpisah dan independen. Mereka bekerja untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban pegawainya atas penyajian laporan keuangan.
Hasil kerja kedua juru tulis ini kemudian dibandingkan, dari hasil perbandingan tersebut jelas sudah terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini adalah untuk membuat dasar pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pemakai jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik dana.
2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya pendekatan audit masih bersifat 100% dan fungsinya untuk menemukan kesalahan dan penyelewengan yang terjadi. Namun karena munculnya perkembangan ekonomi setelah revolusi industri yang banyak melibatkan modal, faktor produksi, serta organisasi maka kegiatan produksi menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.
Secara resmi di Inggris telah dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun 1882, dalam peraturan ini diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksan independen untuk perusahaan yang menjual saham. Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi (formal).
3. Tahun 1900 – 1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan. Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan besarnya pajak.
4. Tahun 1930 – Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.
Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia
Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a. Periode I (sebelum tahun 1954)
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.
b. Periode II (tahun 1954 – 1973)
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.
c. Periode III (tahun 1973 – 1979)
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1. Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.
2. Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak.
3. Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
d. Periode IV (tahun 1979 – 1983)
Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
e. Periode V (tahun 1983 – 1989)
Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986. Setelah melewati masa-masa suram, pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut.
Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:
1. Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2. Memberikan masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen Keuangan dalam program pendidikan
3. Melaksanakan penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4. Mengusahakan agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya
5. Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1. Untuk melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan public / akuntan negara untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2. Laporan keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3. Jangka waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari.
f. Periode VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi. Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1. Tumbuhnya pasar modal
2. Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank
3. Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4. Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1. Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2. Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3. Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1. Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2. Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3. Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
C. Profesi Akuntansi
Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Dalam arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi, pajak dan konsultan manajemen. Profesi Akuntan biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Supaya dikatakan profesi ia harus memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
2. Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
3. Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat/pemerintah.
4. Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
5. Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.
Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak disebut sebagai salah satu profesi. Perkembangan profesi akuntansi sejalan dengan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masyarakat yang makin lama semakin bertambah kompleksnya. Gelar akuntan adalah gelar profesi seseorang dengan bobot yang dapat disamakan dengan bidang pekerjaan yang lain. Misalnya bidang hukum atau bidang teknik. Secara garis besar Akuntan dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Akuntan Publik (Public Accountants)
Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnya mendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari Departemen Keuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan sistem manajemen.
2. Akuntan Intern (Internal Accountant)
Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Akuntan intern ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. Tugas mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan masalah perpajakan dan pemeriksaan intern.
3. Akuntan Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di kantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK).
4. Akuntan Pendidik
Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.
Seseorang berhak menyandang gelar Akuntan bila telah memenuhi syarat antara lain: Pendidikan Sarjana jurusan Akuntansi dari Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi yang telah diakui menghasilkan gelar Akuntan atau perguruan tinggi swasta yang berafiliasi ke salah satu perguruan tinggi yang telah berhak memberikan gelar Akuntan. Selain itu juga bisa mengikuti Ujian Nasional Akuntansi (UNA) yang diselenggarakan oleh konsorsium Pendidikan Tinggi Ilmu Ekonomi yang didirikan dengan SK Mendikbud RI tahun 1976.
D. Organisasi Resmi Profesi Akuntan Indonesia
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, Indonesian Institute of Accountants) adalah organisasi profesi akuntan di Indonesia. Kantor sekretariatnya terletak di Graha Akuntan, Menteng, Jakarta.
Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Susunan pengurus pertama terdiri dari:
• Ketua: Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo
• Panitera: Drs. Mr. Go Tie Siem
• Bendahara: Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)
• Komisaris: Dr. Tan Tong Djoe
• Komisaris: Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)
Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah
• Prof. Dr. Abutari
• Tio Po Tjiang
• Tan Eng Oen
• Tang Siu Tjhan
• Liem Kwie Liang
• The Tik Him
Ketika itu, tujuan IAI adalah:
1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.
Sekarang IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
Anggota individu terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah pemegang gelar akuntan atau sebutan akuntan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan pemegang sertifikat profesi akuntan yang diakui oleh IAI. Anggota luar biasa adalah sarjana ekonomi jurusan akuntansi atau yang serupa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan profesi akuntan. Sedangkan anggota kehormatan adalah warga negara Indonesia yang telah berjasa bagi perkembangan profesi akuntan di Indonesia. Pada saat didirikannya, hanya ada 11 akuntan yang menjadi anggota IAI, yaitu para pendirinya. Dari waktu ke waktu anggota IAI terus bertambah. Para akuntan yang menjadi anggota IAI tersebar diseluruh Indonesia dan menduduki berbagai posisi strategis baik dilingkungan pemerintah maupun swasta.
Sebagaimana keputusan Kongres Luar Biasa IAI pada bulan Mei 2007, selain keanggotaan perorangan IAI juga memiliki keanggotaan berupa Asosiasi, dan pada saat ini IAI telah memiliki satu anggota Asosiasi yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yang sebelumnya tergabung dalam IAI sebagai Kompartemen Akuntan Publik. Perusahaan pengguna jasa profesi akuntan sebagai corporate member. IAI juga membuka keanggotaan selain para akuntan, yaitu para mahasiswa akuntansi yang tergabung dalam junior member. Kegiatan IAI antara lain:
• Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan
• Penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Akuntan Manajemen (Certified Professional Management Accountant)
• Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL)
Pada skala internasional, IAI aktif dalam keanggotaan International Federation of Accountants (IFAC) sejak tahun 1997. Di tingkat ASEAN IAI menjadi anggota pendiri ASEAN Federation of Accountants (AFA). Keaktifan IAI di AFA pada periode 2006-2007 semakin penting dengan terpilihnya IAI menjadi Presiden dan Sekjen AFA. Selain kerjasama yang bersifat multilateral, kerjasama yang bersifat bilateral juga telah dijalin oleh IAI diantaranya dengan Malaysian Institute of Accountants (MIA) dan Certified Public Accountant (CPA).
Para pemilik modal menyerahkan dananya kepada perusahaan untuk dikelola / dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Modal yang ditanamkan tersebut harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Sehingga mereka memerlukan laporan keuangan . Peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan agar dapat memberikan informasi yang objekif, sehingga tidak merugikan pemilik modal.
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dibagi ke dalam 4 periode yaitu pra revolusi indusri, masa revolusi indusri tahun 1900, tahun 1900-1930 dan tahun 1930-sekarang. Di Indonesia, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi menjadi 2 periode menurut Olson yaitu periode kolonial dan periode sesudah kemerdekaan. profesi akunatn berkembang sejalan dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Kebutuhan akan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masarakat semakin lama semakin kompleks. Secara garis besar, akuntan dapat digolongkan menjadi 4 yaitu akuntan public, akunan intern, akuntan pemerinah dan akuntan pendidik. Sehingga keberadaan profesi akuntan diakui sebagai sebuah profesi kepercaaan masarakat. Profesi akuntan diharapkan dapat mengatasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
Bank-bank melakukan pengawasan dalam pemberian kredit agar uang yang dipinjamkan tersebut selamat dan menghasilkan bunga yang diharapkan. Sehingga mereka sangat memerlukan laporan keuangan guna menilai kemampuan ekonomi para nasabah atau calon nasabahnya. Dalam pasar modal juga sangat diperlukan laporan keuangan bagi perusahaan yang akan go public. Demikian juga pemerintah memerlukan laporan keuangan wajib pajak sebagai dasar penentuan pajak agar lebih obyektif. Pihak-pihak lain seperti calon kreditur, calon investor, serikat buruh, lembaga-lembaga keuangan serta industri lainnya juga sangat memerlukan laporan keuangan. Oleh karena itu laporan keuangan yang disajikan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga para pengambil keputusan yang mendasarkan diri pada laporan keuangan tersebut tidak tersesat. Hal itulah yang menjadikan peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan.
A. Sejarah Awal Profesi Akuntan
Profesi akuntan telah dimulai sejak abad ke-15 walaupun sebenarnya masih dipertentangkan para ahli mengenai kapan sebenarnya profesi ini dimulai. Pada abad ke-15 di Inggris pihak yang bukan pemilik dan bukan pengelola yang sekarang disebut auditor diminta untuk memeriksa apakah ada kecurangan yang terdapat di pembukuan atau di laporan keuangan yang disampaikan oleh pengelola kekayaan pemilik harta.
Menurut sejarahnya para pemilik modal menyerahkan dananya kepada orang lain untuk dikelola/dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Kalau kegiatan ini belum besar umumnya kedua belah pihak masih dapat saling percaya penuh sehingga tidak diperlukan pemeriksaan. Namun semakin besar volume kegiatan usaha, pemilik dana kadang-kadang merasa was-was kalau-kalau modalnya disalahgunakan oleh pengelolanya atau mungkin pengelolanya memberikan informasi yang tidak obyektif yang mungkin dapat merugikan pemilik dana.
Keadaan inilah yang membuat pemilik dana membutuhkan pihak ketiga yang dipercaya oleh masyarakat untuk memeriksa kelayakan atau kebenaran laporan keuangan/ laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana. Pihak itulah yang kita kenal sebagai Auditor.
B. Perkembangan Profesi Akuntan
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi ke dalam 4 periode yaitu:
1. Pra Revolusi Industri
Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal adanya dua juru tulis yang bekerja terpisah dan independen. Mereka bekerja untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban pegawainya atas penyajian laporan keuangan.
Hasil kerja kedua juru tulis ini kemudian dibandingkan, dari hasil perbandingan tersebut jelas sudah terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini adalah untuk membuat dasar pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pemakai jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik dana.
2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya pendekatan audit masih bersifat 100% dan fungsinya untuk menemukan kesalahan dan penyelewengan yang terjadi. Namun karena munculnya perkembangan ekonomi setelah revolusi industri yang banyak melibatkan modal, faktor produksi, serta organisasi maka kegiatan produksi menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.
Secara resmi di Inggris telah dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun 1882, dalam peraturan ini diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksan independen untuk perusahaan yang menjual saham. Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi (formal).
3. Tahun 1900 – 1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan. Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan besarnya pajak.
4. Tahun 1930 – Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.
Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia
Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a. Periode I (sebelum tahun 1954)
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.
b. Periode II (tahun 1954 – 1973)
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.
c. Periode III (tahun 1973 – 1979)
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1. Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.
2. Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak.
3. Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
d. Periode IV (tahun 1979 – 1983)
Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
e. Periode V (tahun 1983 – 1989)
Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986. Setelah melewati masa-masa suram, pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut.
Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:
1. Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2. Memberikan masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen Keuangan dalam program pendidikan
3. Melaksanakan penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4. Mengusahakan agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya
5. Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1. Untuk melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan public / akuntan negara untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2. Laporan keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3. Jangka waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari.
f. Periode VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi. Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1. Tumbuhnya pasar modal
2. Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank
3. Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4. Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1. Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2. Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3. Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1. Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2. Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3. Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
C. Profesi Akuntansi
Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Dalam arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi, pajak dan konsultan manajemen. Profesi Akuntan biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Supaya dikatakan profesi ia harus memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
2. Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
3. Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat/pemerintah.
4. Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
5. Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.
Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak disebut sebagai salah satu profesi. Perkembangan profesi akuntansi sejalan dengan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masyarakat yang makin lama semakin bertambah kompleksnya. Gelar akuntan adalah gelar profesi seseorang dengan bobot yang dapat disamakan dengan bidang pekerjaan yang lain. Misalnya bidang hukum atau bidang teknik. Secara garis besar Akuntan dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Akuntan Publik (Public Accountants)
Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnya mendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari Departemen Keuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan sistem manajemen.
2. Akuntan Intern (Internal Accountant)
Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Akuntan intern ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. Tugas mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan masalah perpajakan dan pemeriksaan intern.
3. Akuntan Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di kantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK).
4. Akuntan Pendidik
Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.
Seseorang berhak menyandang gelar Akuntan bila telah memenuhi syarat antara lain: Pendidikan Sarjana jurusan Akuntansi dari Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi yang telah diakui menghasilkan gelar Akuntan atau perguruan tinggi swasta yang berafiliasi ke salah satu perguruan tinggi yang telah berhak memberikan gelar Akuntan. Selain itu juga bisa mengikuti Ujian Nasional Akuntansi (UNA) yang diselenggarakan oleh konsorsium Pendidikan Tinggi Ilmu Ekonomi yang didirikan dengan SK Mendikbud RI tahun 1976.
D. Organisasi Resmi Profesi Akuntan Indonesia
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, Indonesian Institute of Accountants) adalah organisasi profesi akuntan di Indonesia. Kantor sekretariatnya terletak di Graha Akuntan, Menteng, Jakarta.
Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Susunan pengurus pertama terdiri dari:
• Ketua: Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo
• Panitera: Drs. Mr. Go Tie Siem
• Bendahara: Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)
• Komisaris: Dr. Tan Tong Djoe
• Komisaris: Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)
Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah
• Prof. Dr. Abutari
• Tio Po Tjiang
• Tan Eng Oen
• Tang Siu Tjhan
• Liem Kwie Liang
• The Tik Him
Ketika itu, tujuan IAI adalah:
1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.
Sekarang IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
Anggota individu terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah pemegang gelar akuntan atau sebutan akuntan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan pemegang sertifikat profesi akuntan yang diakui oleh IAI. Anggota luar biasa adalah sarjana ekonomi jurusan akuntansi atau yang serupa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan profesi akuntan. Sedangkan anggota kehormatan adalah warga negara Indonesia yang telah berjasa bagi perkembangan profesi akuntan di Indonesia. Pada saat didirikannya, hanya ada 11 akuntan yang menjadi anggota IAI, yaitu para pendirinya. Dari waktu ke waktu anggota IAI terus bertambah. Para akuntan yang menjadi anggota IAI tersebar diseluruh Indonesia dan menduduki berbagai posisi strategis baik dilingkungan pemerintah maupun swasta.
Sebagaimana keputusan Kongres Luar Biasa IAI pada bulan Mei 2007, selain keanggotaan perorangan IAI juga memiliki keanggotaan berupa Asosiasi, dan pada saat ini IAI telah memiliki satu anggota Asosiasi yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yang sebelumnya tergabung dalam IAI sebagai Kompartemen Akuntan Publik. Perusahaan pengguna jasa profesi akuntan sebagai corporate member. IAI juga membuka keanggotaan selain para akuntan, yaitu para mahasiswa akuntansi yang tergabung dalam junior member. Kegiatan IAI antara lain:
• Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan
• Penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Akuntan Manajemen (Certified Professional Management Accountant)
• Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL)
Pada skala internasional, IAI aktif dalam keanggotaan International Federation of Accountants (IFAC) sejak tahun 1997. Di tingkat ASEAN IAI menjadi anggota pendiri ASEAN Federation of Accountants (AFA). Keaktifan IAI di AFA pada periode 2006-2007 semakin penting dengan terpilihnya IAI menjadi Presiden dan Sekjen AFA. Selain kerjasama yang bersifat multilateral, kerjasama yang bersifat bilateral juga telah dijalin oleh IAI diantaranya dengan Malaysian Institute of Accountants (MIA) dan Certified Public Accountant (CPA).
Para pemilik modal menyerahkan dananya kepada perusahaan untuk dikelola / dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Modal yang ditanamkan tersebut harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Sehingga mereka memerlukan laporan keuangan . Peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan agar dapat memberikan informasi yang objekif, sehingga tidak merugikan pemilik modal.
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dibagi ke dalam 4 periode yaitu pra revolusi indusri, masa revolusi indusri tahun 1900, tahun 1900-1930 dan tahun 1930-sekarang. Di Indonesia, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi menjadi 2 periode menurut Olson yaitu periode kolonial dan periode sesudah kemerdekaan. profesi akunatn berkembang sejalan dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Kebutuhan akan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masarakat semakin lama semakin kompleks. Secara garis besar, akuntan dapat digolongkan menjadi 4 yaitu akuntan public, akunan intern, akuntan pemerinah dan akuntan pendidik. Sehingga keberadaan profesi akuntan diakui sebagai sebuah profesi kepercaaan masarakat. Profesi akuntan diharapkan dapat mengatasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
Sunday, November 28, 2010
Perkembangan, Peluang serta Tantangan Profesi Akuntansi di Indonesia
Perkembangan Profesi Akuntansi
Data keuangan dan data ekonomi sangat diperlukan seiring dengan kemajuan perekonomian saat ini. Para pemilik atau penanam modal sudah menyebar ke segala pelosok daerah dan operasinya sudah tidak hanya di lingkungan dalam negeri namun sudah meluas hingga ke luar negeri. Modal yang ditanamkan dalam perusahaan harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Oleh karena itu, mereka sangat memerlukan laporan keuangan yang dapat dipercaya dari perusahaan dimana mereka menanamkan modalnya.
Bank-bank melakukan pengawasan dalam pemberian kredit agar uang yang dipinjamkan tersebut selamat dan menghasilkan bunga yang diharapkan. Sehingga mereka sangat memerlukan laporan keuangan guna menilai kemampuan ekonomi para nasabah atau calon nasabahnya. Dalam pasar modal juga sangat diperlukan laporan keuangan bagi perusahaan yang akan go public. Demikian juga pemerintah memerlukan laporan keuangan wajib pajak sebagai dasar penentuan pajak agar lebih obyektif. Pihak-pihak lain seperti calon kreditur, calon investor, serikat buruh, lembaga-lembaga keuangan serta industri lainnya juga sangat memerlukan laporan keuangan. Oleh karena itu laporan keuangan yang disajikan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga para pengambil keputusan yang mendasarkan diri pada laporan keuangan tersebut tidak tersesat. Hal itulah yang menjadikan peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan.
A. Sejarah Awal Profesi Akuntan
Profesi akuntan telah dimulai sejak abad ke-15 walaupun sebenarnya masih dipertentangkan para ahli mengenai kapan sebenarnya profesi ini dimulai. Pada abad ke-15 di Inggris pihak yang bukan pemilik dan bukan pengelola yang sekarang disebut auditor diminta untuk memeriksa apakah ada kecurangan yang terdapat di pembukuan atau di laporan keuangan yang disampaikan oleh pengelola kekayaan pemilik harta.
Menurut sejarahnya para pemilik modal menyerahkan dananya kepada orang lain untuk dikelola/dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Kalau kegiatan ini belum besar umumnya kedua belah pihak masih dapat saling percaya penuh sehingga tidak diperlukan pemeriksaan. Namun semakin besar volume kegiatan usaha, pemilik dana kadang-kadang merasa was-was kalau-kalau modalnya disalahgunakan oleh pengelolanya atau mungkin pengelolanya memberikan informasi yang tidak obyektif yang mungkin dapat merugikan pemilik dana.
Keadaan inilah yang membuat pemilik dana membutuhkan pihak ketiga yang dipercaya oleh masyarakat untuk memeriksa kelayakan atau kebenaran laporan keuangan/ laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana. Pihak itulah yang kita kenal sebagai Auditor.
B. Perkembangan Profesi Akuntan
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi ke dalam 4 periode yaitu:
1. Pra Revolusi Industri
Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal adanya dua juru tulis yang bekerja terpisah dan independen. Mereka bekerja untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban pegawainya atas penyajian laporan keuangan.
Hasil kerja kedua juru tulis ini kemudian dibandingkan, dari hasil perbandingan tersebut jelas sudah terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini adalah untuk membuat dasar pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pemakai jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik dana.
2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya pendekatan audit masih bersifat 100% dan fungsinya untuk menemukan kesalahan dan penyelewengan yang terjadi. Namun karena munculnya perkembangan ekonomi setelah revolusi industri yang banyak melibatkan modal, faktor produksi, serta organisasi maka kegiatan produksi menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.
Secara resmi di Inggris telah dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun 1882, dalam peraturan ini diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksan independen untuk perusahaan yang menjual saham. Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi (formal).
3. Tahun 1900 – 1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan. Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan besarnya pajak.
4. Tahun 1930 – Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.
Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia
Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a. Periode I (sebelum tahun 1954)
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.
b. Periode II (tahun 1954 – 1973)
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.
c. Periode III (tahun 1973 – 1979)
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1. Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.
2. Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak.
3. Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
d. Periode IV (tahun 1979 – 1983)
Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
e. Periode V (tahun 1983 – 1989)
Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986. Setelah melewati masa-masa suram, pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut.
Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:
1. Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2. Memberikan masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen Keuangan dalam program pendidikan
3. Melaksanakan penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4. Mengusahakan agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya
5. Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1. Untuk melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan public / akuntan negara untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2. Laporan keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3. Jangka waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari.
f. Periode VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi. Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1. Tumbuhnya pasar modal
2. Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank
3. Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4. Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1. Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2. Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3. Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1. Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2. Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3. Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
C. Profesi Akuntansi
Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Dalam arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi, pajak dan konsultan manajemen. Profesi Akuntan biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Supaya dikatakan profesi ia harus memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
2. Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
3. Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat/pemerintah.
4. Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
5. Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.
Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak disebut sebagai salah satu profesi. Perkembangan profesi akuntansi sejalan dengan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masyarakat yang makin lama semakin bertambah kompleksnya. Gelar akuntan adalah gelar profesi seseorang dengan bobot yang dapat disamakan dengan bidang pekerjaan yang lain. Misalnya bidang hukum atau bidang teknik. Secara garis besar Akuntan dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Akuntan Publik (Public Accountants)
Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnya mendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari Departemen Keuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan sistem manajemen.
2. Akuntan Intern (Internal Accountant)
Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Akuntan intern ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. Tugas mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan masalah perpajakan dan pemeriksaan intern.
3. Akuntan Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di kantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK).
4. Akuntan Pendidik
Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.
Seseorang berhak menyandang gelar Akuntan bila telah memenuhi syarat antara lain: Pendidikan Sarjana jurusan Akuntansi dari Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi yang telah diakui menghasilkan gelar Akuntan atau perguruan tinggi swasta yang berafiliasi ke salah satu perguruan tinggi yang telah berhak memberikan gelar Akuntan. Selain itu juga bisa mengikuti Ujian Nasional Akuntansi (UNA) yang diselenggarakan oleh konsorsium Pendidikan Tinggi Ilmu Ekonomi yang didirikan dengan SK Mendikbud RI tahun 1976.
D. Organisasi Resmi Profesi Akuntan Indonesia
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, Indonesian Institute of Accountants) adalah organisasi profesi akuntan di Indonesia. Kantor sekretariatnya terletak di Graha Akuntan, Menteng, Jakarta.
Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Susunan pengurus pertama terdiri dari:
• Ketua: Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo
• Panitera: Drs. Mr. Go Tie Siem
• Bendahara: Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)
• Komisaris: Dr. Tan Tong Djoe
• Komisaris: Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)
Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah
• Prof. Dr. Abutari
• Tio Po Tjiang
• Tan Eng Oen
• Tang Siu Tjhan
• Liem Kwie Liang
• The Tik Him
Ketika itu, tujuan IAI adalah:
1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.
Sekarang IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
Anggota individu terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah pemegang gelar akuntan atau sebutan akuntan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan pemegang sertifikat profesi akuntan yang diakui oleh IAI. Anggota luar biasa adalah sarjana ekonomi jurusan akuntansi atau yang serupa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan profesi akuntan. Sedangkan anggota kehormatan adalah warga negara Indonesia yang telah berjasa bagi perkembangan profesi akuntan di Indonesia. Pada saat didirikannya, hanya ada 11 akuntan yang menjadi anggota IAI, yaitu para pendirinya. Dari waktu ke waktu anggota IAI terus bertambah. Para akuntan yang menjadi anggota IAI tersebar diseluruh Indonesia dan menduduki berbagai posisi strategis baik dilingkungan pemerintah maupun swasta.
Sebagaimana keputusan Kongres Luar Biasa IAI pada bulan Mei 2007, selain keanggotaan perorangan IAI juga memiliki keanggotaan berupa Asosiasi, dan pada saat ini IAI telah memiliki satu anggota Asosiasi yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yang sebelumnya tergabung dalam IAI sebagai Kompartemen Akuntan Publik. Perusahaan pengguna jasa profesi akuntan sebagai corporate member. IAI juga membuka keanggotaan selain para akuntan, yaitu para mahasiswa akuntansi yang tergabung dalam junior member. Kegiatan IAI antara lain:
• Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan
• Penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Akuntan Manajemen (Certified Professional Management Accountant)
• Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL)
Pada skala internasional, IAI aktif dalam keanggotaan International Federation of Accountants (IFAC) sejak tahun 1997. Di tingkat ASEAN IAI menjadi anggota pendiri ASEAN Federation of Accountants (AFA). Keaktifan IAI di AFA pada periode 2006-2007 semakin penting dengan terpilihnya IAI menjadi Presiden dan Sekjen AFA. Selain kerjasama yang bersifat multilateral, kerjasama yang bersifat bilateral juga telah dijalin oleh IAI diantaranya dengan Malaysian Institute of Accountants (MIA) dan Certified Public Accountant (CPA).
Para pemilik modal menyerahkan dananya kepada perusahaan untuk dikelola / dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Modal yang ditanamkan tersebut harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Sehingga mereka memerlukan laporan keuangan . Peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan agar dapat memberikan informasi yang objekif, sehingga tidak merugikan pemilik modal.
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dibagi ke dalam 4 periode yaitu pra revolusi indusri, masa revolusi indusri tahun 1900, tahun 1900-1930 dan tahun 1930-sekarang. Di Indonesia, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi menjadi 2 periode menurut Olson yaitu periode kolonial dan periode sesudah kemerdekaan. profesi akunatn berkembang sejalan dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Kebutuhan akan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masarakat semakin lama semakin kompleks. Secara garis besar, akuntan dapat digolongkan menjadi 4 yaitu akuntan public, akunan intern, akuntan pemerinah dan akuntan pendidik. Sehingga keberadaan profesi akuntan diakui sebagai sebuah profesi kepercaaan masarakat. Profesi akuntan diharapkan dapat mengatasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
Peluang Profesi Akuntansi di Indonesia
Profesi Akuntan Publik Masih Langka
Profesi akuntan publik di Indonesia dinilai masih sangat langka, padahal kebutuhan profesi tersebut bagi lembaga keuangan dan perusahaan sebagai tenaga audit sangat tinggi. Akibat kelangkaan profesi itu, maka peluang menjadi akuntan sangat terbuka lebar.
Demikian salah satu poin penting yang terungkap dalam seminar akuntansi bertema ‘’Perkembangan Terkini Praktik Akuntan Publik dan Dampaknya Program Studi Akuntansi’’ di Hotel Beringin Salatiga. Seminar yang dimoderatori Dosen FE UKSW itu, menghadirkan pembicara Ketua Umum IAPI dan Ketua Pengawas IAPI.
Ketua Umum IAPI mengatakan, dibandingkan Malaysia jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat kurang. Berdasarkan data Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), sampai saat ini akuntan publik yang memegang izin praktik sebanyak 866 orang. Anggota tersebut tersebar di 517 kantor, termasuk kantor cabang. ‘’Sedangkan jumlah akuntan di Malaysia 14 ribu orang,’’ kata staf pengajar FE Universitas Indonesia (UI) itu.
Pengawas IAPI mengungkapkan, kekurangan profesi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi negara tetangga lain, seperti Singapura. Sejumlah akuntan yang bekerja di lembaganya pernah dibajak perusahaan di luar negeri dengan iming-iming pendapatan lebih menjanjikan.
Etika Profesi Diakuinya, bila profesi akuntan publik itu berpotensi sebagai penjahat ‘’kerah putih’’ bila tidak dibarengi moral yang baik serta menjalankan etika profesi yang benar. Dia mencontohkan kasus kejahatan ‘’kerah putih’’ di luar negeri yang melibatkan akuntan.
Lalu sejalan dengan tingginya kebutuhan profesi akuntan, harus sinergi dengan universitas, seperti FE UKSW sebagai pencetak tenaga akuntan. Karena selama ini perguruan tinggi seakan berjalan seadanya, tanpa lihat misi sebagai akuntan. Adapun IAPI merupakan organisasi profesi akuntan publik di Indonesia yang telah diakui pemerintah mulai Februari 2008 lalu.
Anak Muda Tak Mau Jadi Akuntan Publik
Dewan Kehormatan Ikatan Akuntansi Publik Indonesia (IAPI) Sukrisno Agoes mengatakan, profesi akuntan publik tidak diminati kalangan muda dan fresh graduate (sarjana baru).
"Dari 430 kantor akuntan publik (KAP) dan 2 koperasi jasa audit (KJA) di Indonesia, sebagian besar personelnya didominasi kalangan orang tua," katanya pada seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung. Hadir pada kesempatan itu, Ketua IAPI Dra Tia Adityasih CPA dan sejumlah dosen Akuntansi Unpad.
Kurangnya minat kalangan muda karena profesi akuntan publik sangat berisiko. Namun, penghasilannya masih minim. Menurut dia, risiko yang dimaksud adalah akuntan harus mampu menjaga independensi karena mengaudit laporan keuangan BUMN. Ketua IAPI Tia Adityasih mengatakan, sampai sekarang, akuntan publik masih diatur oleh pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Seharusnya, jika akuntan publik terkena kasus hukum, Departemen Keuangan harus bertanggung jawab.
Selain itu, kata dia, sekarang banyak "akuntan palsu" yang bebas membuka praktik. Ini terjadi karena belum ada pengawasan dari pemerintah, sementara "akuntan palsu" tidak bertanggung jawab kepada lembaga profesi. "Berbagai kasus hukum yang dihadapi akuntan publik masih merupakan kasus pidana, dan maksimal hukuman penjara lima tahun, padahal seharusnya menggunakan kitab undang-undang hukum perdata," katanya.
Menurut Sukrisno, jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat sedikit, dan tidak sebanding dengan banyaknya laporan keuangan yang harus diaudit. Sejak disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan semua perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Sedikitnya ada 87 PTN dan 2.700 PTS yang laporan keuangannya harus diaudit.
Selain itu, menjelang pemilu, akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan partai politik, mulai dari parpol di pusat, hingga tingkat kabupaten. Padahal, jumlah akuntan publik saat ini masih sedikit. Terkait dengan kenyataan tersebut, Sukrisno kecewa terhadap pemerintah yang masih menganggap sepele profesi akuntan publik. Guru besar Akuntansi Unpad Prof Dr Ilya Avianti, SE MSi Ak, mengatakan, pekerjaan akuntan publik memang hanya ditujukan bagi orang-orang yang "hobi akuntansi".
Meskipun penghasilan dari profesi ini sedikit. Namun, dari segi kualitas hasil kerja, akuntan publik masih jauh di atas akuntan perusahaan. "Akuntan publik berkesempatan mengaudit laporan keuangan dari berbagai bidang sehingga pada 10 tahun mendatang akan ada perbedaan kualitas antara akuntansi publik dan akuntansi perusahaan," kata Ilya. Jadi sampai dengan hari ini peluang profesi akuntansi di Indonesia masih sangat terbuka lebar.
Tantangan Profesi Auditor Internal dalam Penerapan Good Governance
Governance secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu cara atau metode bagaimana membuat alokasi sumber daya organisasi secara efisien dan efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Secara sederhana juga dapat dikatakan bahwa Outcome Governance sebuah organisasi dapat dikatakan memberikan nilai tambah berarti apabila organisasi tersebut menunjukkan peningkatan kinerja, konflik kepentingan berhasil di tekan pada level yang minimal, dan harmonisasi para pengambil keputusan berjalan dengan baik serta sumber daya organisasi dialokasikan secara efisien dan efektif. Outcome governance diatas dapat dicapai apabila proses governancenya memiliki pencapaian ukuran parameter yang kompetitif, yaitu: kompetensi, keselarasan, komitmen, dan biaya (4C: competence, congruence, commitment, and cost). Disamping ukuran parameternya, praktek-praktek governance harus selalu bernafaskan jiwa transparansi, akuntabilitas, dan berkeadilan serta memiliki struktur dan mekanisme governance yang handal.
Berdasarkan teori organisasi, governance akan berjalan sesuai dengan target yang diinginkan apabila instrumen-instrumen governance proses terus di tumbuh kembangkan sesuai dengan dinamika lingkungan demi mencapai tujuan yang dinginkan. Pertama, Peraturan Perundang-undangan perlu terus diperkuat agar supaya pemakaian sumber daya bisa secara terus menerus dikelola secara efisien dan efektif, lingkungan organisasi bisa dikendalikan dan terkendali untuk memberikan nilai tambah bagi pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu tujuan organisasi harus ditentukan terlebih dahulu sehingga adanya kesamaan persepsi terhadap tujuan bersama para pihak yang berkepentingan, alokasi sumber daya organisasi memiliki arah yang jelas sehingga efesiensi dan efektifitas dapat terukur dan terkendali.
Kedua, dalam sebuah organisasi apakah sebuah organisasi publik ataupun privat harus ada pemisahan fungsi yang tegas antara wewenang, tugas, dan tanggungjawab antara pihak yang menjalankan dengan pihak yang mengawasi. Fungsi kedua pihak ini harus selalu terjaga secara seimbang dan kuat serta efektif. Pemisahan fungsi ini dimaksudkan agar supaya pengelolaan sumber daya organisasi berjalan secara sehat. Ketiga, dalam sebuah organisasi akan selalu ada beraneka sikap, tingkah laku, dan kepentingan individual atau kelompok dimana seringkali berbagai tujuan ini tidak konsisten dengan tujuan bersama organisasi. Untuk itu, pengembangan Praktek-Praktek Good Governance akan banyak menghadapi kendala dan tantangan sehingga sistim dan prosedur, peraturan, dan kebijakan Organisasi yang ada harus selalu disesuaikan dan disempurnakan agar supaya fit-in dengan kondisi organisasi. Dengan kata lain, governance sistim itu bersifat dinamis, responsif, dan adaptif. Perangkat Kebijakan Governance yang dikembangkan harus bisa mengadopsi berbagai kepentingan tersebut dengan tetap mengedepankan tujuan organisasi.
Dalam kontek Governance untuk Manajemen Pengeluaran Publik, payung hukum Governancenya secara jelas telah memiliki peraturan perundang-undangan yang kuat. Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan Pemerintahan. Dengan demikian maka Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif) memiliki dan memegang kekuasaan yang besar untuk ‘mengembangkan dan menjaga’ governance atas manajemen anggaran pengeluaran, bagaimana membuat alokasi anggaran pengeluaran kepada publik secara efisien dan efektifitas. Sistim Anggaran yang ada saat ini telah di dukung oleh berbagai peraturan baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri dan Surat Edaran Menteri.
Dewan Direksi sebagai Decision Management. Peraturan perundang-undangan yang ada baik bagi Perusahaan Publik maupun BUMN secara konseptual telah menyatakan bahwa rencana anggaran harus disusun berdasarkan rencana kerja. Artinya adanya keterkaitan antara anggaran dengan strategic planning. Namun demikian proses penyusunan anggaran sejak perencanaan sampai dengan pelaporan masih memiliki berbagai kelemahan atas governancenya. Kelemahan utama dalam sistim anggaran adalah masih belum bekerjanya mekanisme pengendalian internal dan eksternal. Sebagai akibatnya, misalnya: (1) ketidak efisienan dan efektifan anggaran masih relatif tinggi, dan (2) distorsi ‘mismatch’ antara strategic planning dengan program kerja dan anggaran masih relatif tinggi. Kedua hal ini merupakan masalah klasik yang terus kita upayakan penyelesaiannya.
Apabila dicermati secara baik maka faktor-faktor penyebab kedua hal tersebut diatas adalah sebagai berikut. Pertama, keterlibatan aparat pengawas internal untuk menjaga akuntabilitas dan kredibilitas atas sistim anggaran masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, belum jelasnya siapa, apa, bagaimana, dan dimana mekanisme pengendalian internal atas sistim anggaran ada ‘exist’ demi menjaga substansi anggaran berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, transparansi dalam sistim anggaran masih sangat terbatas sekali dimana transparansi baru ada dalam tahapan pelaporan yaitu laporan keuangan hasil audit Kantor Akuntan Publik. Keempat parameter governance sistim anggaran seperti competence, congruence, commitment, dan cost belum menjadi kebutuhan yang harus ditegakkan pada semua proses pengendalian yang berkelanjutan ‘continious control’ pada semua tahapan dalam sistim anggaran dan adanya ‘feedback control’.
Dewan Komisaris sebagai Decision Control. Pihak komisaris merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk memonitor sistim anggaran. Dewan Komisaris harus menilai apakah program-program kerja yang diajukan oleh Dewan Direksi telah sesuai/konsisten dengan Visi/Misi Perusahaan? Apakah alokasi anggaran yang disusun telah sesuai dengan prioritas program dan apakah “cost’ anggaran masing-masing prioritas program tersebut besarannya kompetitif. Namun pada kenyataannya, dewan Komisaris cenderung mengedepankan pembahasan yang bersifat operasional dibandingkan yang bersifat strategis untuk memonitor sistim anggaran agar supaya menjadi anggaran yang kompetitif. Fakta yang ada sekarang formalitas pelaksanaan dan monitoring sistim anggaran lebih menonjol dibandingkan dengan substansi anggaran itu sendiri (form over substance).
Untuk mengatasi kendala-kendala sistim anggaran tersebut diatas Perusahaan harus menguatkan mekanisme governance yang ada melalui penyempurnaan Peraturan dan kebijakan Perusahaan yang berlaku dan mengeluarkan beberapa Kebijakan Governance untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas atas sistim anggaran yang handal. Pemberdayaan dan penguatan fungsi internal control adalah merupakan aksi nyata yang harus diambil Perusahaan sebagai prasyarat penegakkan good governance. Budaya disiplin atas konformiti terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku juga harus menjadi sebuah kebutuhan sehingga terjadi transformasi dari ‘form over substance’ menjadi ‘substance over form’.
Governance dan Pengendalian Internal
Pertanyaan paling umum yang muncul di dalam praktik adalah; apa manfaat yang dapat terlihat (tangible benefits) dari penerapan corporate governance di sebuah perusahaan? Apakah dengan diterapkannya konsepsi corporate governance secara “baik” akan dapat meningkatkan laba atau minimal meningkat kinerja keuangan perusahaan. Jika esensi dari governance adalah; untuk meyakinkan seluruh pihak yang berkepentingan bahwa aktivitas organisasi dijalankan secara profesional serta “bebas” dari berbagai konflik kepentingan, maka seharusnya kinerja perusahaan meningkat, minimal kinerja keuangan. Lebih lanjut jika governance memberikan penekanan pada unsur pengendalian atas pihak yang membuat keputusan di dalam sebuah organisasi; apakah penerapan governance juga diharapkan dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang (kekuasaan)?
Disamping sebagai seorang akademisi, penulis juga berprofesi sebagai seorang konsultan dimana penulis pernah mendapat sebuah pertanyaan aplikatif yang mengarah pada esensi pertanyaan di atas. Salah satu Perusahaan perbankan yang telah go-public di Indonesia telah mendapatkan peringkat (rating) sebagai perusahaan yang telah menerapkan governance secara baik oleh sebuah lembaga pemeringkat. Namun demikian, beberapa waktu kemudian diperoleh berita bahwa perusahaan tersebut “telah dibobol” oleh sindikat yang juga melibatkan “orang dalam” dengan jumlah uang yang fantastis. Pertanyaan yang muncul adalah; bukankah Perusahaan dimaksud telah dianggap memiliki dan menerapkan governance secara baik? Kenapa masih terjadi penyelewengan pada korporasi tersebut?
Dalam kaitan ini perlu dipisahkan antara isu corporate governance dan pengendalian internal. Isu corporate governance lebih menekankan pada hubungan berbagai pihak pada pengendalian di tingkatan “stratejik” atau di level korporasi, sementara isu pengendalian internal lebih menitik beratkan pada upaya pengendalian di tingkat operasional. Dengan demikian, walaupun fungsi keduanya berbeda dalam tingkatan, keduanya mempunyai hubungan yang erat. Dalam kaitan ini Root (1998, p. 8) menyatakan bahwa sudah saatnya konsepsi pengendalian internal disatukan (merge) dengan tujuan dari corporate governance sehingga pada akhirnya akan menghilangkan keraguan terhadap fungsi masing-masing dalam kerangka pengendalian korporasi.
Di dalam konsepsi governance Board of Directors (dalam pola Anglo-Saxon) mempunyai peranan yang krusial dalam penerapannya atau yang dikenal dengan mekanisme board governance. Sementara itu di dalam pengendalian internal, peranan Chief Executive Officers (manajemen) merupakan pihak yang memegang peranan kunci di dalam melakukan tugasnya (internal control oversight) yang diharapkan dapat memberikan nilai tambahan terbaik (add the best value) untuk korporasi. Namun demikian menurut Root (1998) dalam melaksanakan fungsi oversight dimaksud pihak manajemen harus mempunyai sikap (attitudes), tindakan (actions) serta pertimbangan (judgments) yang sesuai dan koheren (compatible) dengan berbagai prinsip good corporate governance. Jika hal ini dilakukan diharapkan kedua konsepsi (governance dan pengendalian internal) dapat berjalan beriringan dan memberikan sinergi di dalam pelaksanaan aktivitas korporasi, baik operasional maupun stratejik, di dalam mencapai tujuan perusahaan secara lebih efektif.
Namun demikian mengharapkan manajemen untuk melakukan hal di atas relatif tidak mudah karena posisi mereka dalam korporasi sarat dengan potensi munculnya konflik kepentingan. Untuk itu dari sudut governance, secara simultan “harapan” ini juga harus dilakukan pada tingkatan board (supervisory board – dewan pengawas) agar dapat menghasilkan esensi pengendalian yang efektif . Dalam kaitan inilah sebenarnya diperlukan adanya komite audit (audit committee) sebagai elemen penting di dalam suatu kerangka board governance. Komite audit, seperti halnya berbagai bentuk komite lainnya yang dikenal dalam governance , merupakan “perangkat” kerja board governance sebagai organ penting di dalam sebuah korporasi. Dalam kaitan fungsi komite audit inilah dianggap fungsi governance dan pengendalian internal dapat dilihat hubungannya lugas.
Sesuai dengan cakupan tugas dan tanggung jawabnya, komite audit dipimpin oleh komisaris independen yang merangkap sebagai ketua komite audit. Di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, anggota komite ini dapat berasal dari pihak yang berada di luar struktur perusahaan (misalnya profesional dan akademisi yang memiliki latar belakang audit) yang mempunyai kualifikasi serta bebas dari hubungan konflik dengan berbagai organ perusahaan lainnya (independen).
Komite audit berperan penting dalam proses pelaporan keuangan, sebagai sebuah “financial monitor” dan berperan penting dalam proses laporan keuangan (Abott, Parker, dan Peters, 2004). Komite audit akan berhubungan dengan pengendalian keuangan perusahaan, termasuk melakukan telaah (review) terhadap kehandalan pengendalian internal yang dimiliki perusahaan serta kepatuhan (compliance) terhadap berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Komite audit juga berfungsi untuk melakukan seleksi penunjukkan kantor akuntan publik dan melakukan evaluasi atas kinerja kantor akuntan publik yang ada. Cakupan tugas komite audit dengan melakukan “hubungan” tidak saja dengan internal auditor perusahaan tetapi juga dengan auditor eksternal dalam upaya menghasilkan laporan keuangan perusahaan yang dapat mencermin tingkat “good governance” (Abott, Parker dan Peters, 2004; Raghunandan dan Rama, 2003; dan Asbaugh dan Warfield, 2003).
Abott, Parker dan Peters (2004) menyatakan bahwa komite audit berperan penting dalam menilai efektifitas kinerja fungsi internal audit dan eksternal audit. Hal ini konsisten dengan pernyataan Raghunandan dan Rama (2003) yang menyatakan bahwa komite audit memainkan peran kunci dalam proses pelaporan keuangan dengan “overseeing and monitoring management” dan juga keterlibatannya dengan eksternal auditor dalam proses pelaporan keuangan.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa tingkatan mekanisme governance (strategic level) dan pengendalian internal (operational level) adalah berbeda. Namun demikian fungsi keduanya dapat “diselaraskan” di dalam rangka mempromosikan (enhancing) praktik governance agar menjadi lebih baik melalui upaya kompatibilitas fungsi keduanya. Diharapkan melalui proses ini keduanya akan bersinergi di dalam efektifitas pencapaian tujuan korporasi.
Tantangan Profesi Internal Auditor: Road Map for Governance Policy
Period 2007-2030
Perkembangan implementasi CG diawali dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan prinsip GCG diikuti dengan pembentukan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG). Hal tersebut dilakukan pada saat Republik Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang melemahkan sendi-sendi perekonomian negara. Melalui adopsi prinsip GCG tersebut diharapkan kegiatan perekonomian Nasional dapat segera pulih dan mampu berakselerasi lebih cepat, karena salah satu penyebab rentannya NKRI dalam menghadapi krisis adalah lemahnya penerapan GCG (ADB, 2000). Namun demikian, pada awal periode adaptasi prinsip CG tersebut di awal tahun 1997 tingkat awareness dari masayarakat atau pelaku bisnis belum sampai pada tahapan substantif. Dengan kata lain praktek-praktek governance yang berjalan masih bersifat sebagai sebuah kewajiban ketimbang kebutuhan..... form over substance.
Di dalam perjalanan penerapan prinsip CG hingga satu dekade berikutnya, fase penerapan CG di Indonesia masih berada dalam tahap introduksi dan berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian (awareness) terhadap berbagai aspek CG. Dalam periode ini, peranan pemerintah terlihat masih sangat dominan, sementara para pelaku bisnis, terutama non-multinational companies masih belum sepenuh hati di dalam menerapkan CG. Hal ini diduga disebabkan oleh karena belum terdapat bukti dan manfaat nyata (tangible) dari penerapan CG yang dilakukan. Namun demikian, dengan semakin gencarnya pemerintah untuk mendorong penerapan CG, terutama setelah mewajibkan perusahaan Publik dan BUMN sebagai lokomotif pengembangannya, maka telah dapat diamati terjadinya peningkatan yang signifikan dari implementasi CG. Minimal hal ini tergambar dari semakin banyaknya (kuantitas) perusahaan dan organsiasi lainnya yang mengadopsi CG.
Dari sudut pemerintah dan berbagai pihak, perkembangan penerapan CG dalam dekade pertama ini, juga ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup signifikan sebagai “daya ungkit” (leverage) dalam upaya implementasi CG secara substantif. Disamping berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi praktik CG (seperti untuk BUMN, perusahaan yang Go-publik, institusi perbankan), maka telah dilakukan perbaikan terhadap lembaga KNKCG. Lembaga yang awalnya menggunakan nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) selanjutnya berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Perubahan nama lembaga juga ini juga diikuti dengan perubahan paradigma pendekatan implementasi governance secara sistematis. Hal ini terbukti dengan memperhatikan governance untuk sektor publik (public sector governance), karena secara sistem keberadaan institusi publik berhubungan dengan institusi privat seperti perusahaan atau corporate.
Perkembangan institusi menjadi KNKG juga menandai perlunya perhatian yang berimbang antara implementasi CG di dua sektor utama tersebut; institusi korporasi yang bergerak di sektor riil dan institusi publik yang bergerak dan berhubungan dengan penyediaan infrastruktur dan kebijakan (termasuk moneter) yang akan mendorong berjalannya sektor korporasi secara lebih baik. Disamping perbaikan institusi KNKG, perkembangan lainnya yang dominan selama periode awal ini adalah dengan dikeluarkannya Pedoman CG baru (versi 2006) yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari pedoman CG (governance code) versi tahun 2000. Namun demikian, terlepas dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, implementasi CG di Indonesia belum mencapai tahap optimal yang diharapkan. Kurva PEM Governance pada gambar 1 di atas, memperlihatkan pasang surut implementasi CG selama periode tersebut, walaupun telah mengalami peningkatan yang berarti.
1. Tahap Introduction
Pada tahap sebelumnya (1997-2007) diasumsikan telah dilalui tahap Awareness. Pada tahapan ini “aware” (peduli) berhubungan dengan pemahaman terhadap keberadaan (apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana) terhadap berbagai aspek CG. Hal ini telah dilakukan melalui “sosialisasi dan komunikasi” terhadap stakeholders (internal and eksternal) dari setiap organisasi yang menerapkan governance. Dalam jangka waktu satu dekade dan diikuti dengan berbagai upanya nyata oleh berbagai pihak, maka tahapan ini dapat dianggap telah dilalui secara baik. Dengan demikian, untuk periode berikutnya (2007-2016), diharapkan fase implementasi CG di Indonesia telah dapat memasuki tahap berikutnya walaupun masih dalam kualitas penerapan masih mengacu kepada “conformity”.
2. Tahap Conformance
Pada tahap conformance di periode 2007-2016, akan dilalui tiga tahapan berikutnya yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, tahapan understanding atau memahami isu CG melebihi prinsip-prinsip dasar yang ada (TARIF), sehingga komunikasi menjadi lebih intensif karena memunculkan berbagai pertanyaan substansial tentang CG dan penerapannya. Pada penerapan ini, seharusnya para pelaku bisnis yang menerapkan CG sudah harus mempunyai kreangka pikir “beyond compliance” sehingga esensi dari CG telah dapat dipahami dengan baik. Namun demikian,pemahaman secara baik saja tidak cukup untuk mencapai penerapan kualitas CG yang lebih baik. Untuk itu diperlukan tahapan berikutnya berupa keinginan dari berbagai pihak untuk menerapkan CG secara sadar dan substansial.
Tahapan willingness to adopt berhubungan dengan pemahaman terhadap isu substantif CG, dengan pengertian bahwa CG tidak mempunyai arti jika tidak diikuti oleh keinginan (willingness) dari seluruh perangkat organisasi terkait untuk mengadopsi dan menerapkannya di dalam organisasi. Di dalam hal ini yang diperlukan adalah kesediaan untuk merubah cara berpikir (mindset) melalui change management yang terencana secara baik. Pada tahapan ini diasumsikan bahwa keinginan menerapkan perlu dilakukan untuk dapat memasuki tahapan substansial berupa komitmen untuk menerapkannya.
Pada tahapan commitment, pemahaman dan kesediaan menerima dan menerapkan prinsip governance sangat ditentukan oleh komitmen seluruh stakeholder di dalam mendukung implementasi CG (secara formal ditandai dengan penandatanganan pakta integritas, governance charter dan sebagainya). Jika dihubungkan dengan proses sekuensial penerapan CG sebelumnya, maka komitmen menerapkan ini tidak akan dapat dilakukan jika para governance stakeholders tidak peduli (aware) dengan keberadaan dan manfaat CG, tidak memahami (understanding) fungsi dan peranan serta tujuan CG yang dilanjutkan dengan adanya “niat” (willingness) untuk menerapkannya.
Upgrading posisi implementasi CG di Indonesia ke level medium diperkirakan akan terjadi pada tahiun 2012 yang diperkirakan terjadi pada tahapan “willingness to adopt”. Namun demikian hal ini hanya bisa di capai jika tahapan dan proses sebelumnya dilalui dengan baik serta memperoleh hasil optimal. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan posisi ini baru dapat di up-grade setelah memasuki tahapan committment. Sehingga dapat disimpulkan bahwa percepatan implementasi CG dan capaian (outcomes) dari hasil implementasi tersebut sangat ditentukan oleh partisipasi dan dorongan semua pihak atau stakeholders yang terlibat di dalam sistem governance.
3. Tahap Performance and Improvement
Diperkirakan, penerapan CG mencapai tahapan yang lebih baik (good) setelah memasuki periode ke tiga (2016-2022). Hal ini hanya dapat terlaksana jika semua proses sebelumnya dilalui secara baik. Pada tahapan ini esensi penerapan CG diperkirakan sudah memasuki tahapan performance. Pada tahapan ini seluruh perangkat organisasi (sub-system) telah menerapkan CG didukung perubahan mindset yang ada, sehingga muncul slogan “from conformance to performance”.
Pada tahapan ini, dengan asumsi seluruh perangkat governance yang dibutuhkan (governance structure dan governance system/termasuk governance mechanism) telah berjalan secara baik , maka outcomes “awal” dari implementasi governance seharusnya sudah dapat dirasakan (e.g. reduce of conflict of interests, improved performance, efficient allocation of resources dll). Sesuai dengan sudut pandang bahwa governance sebagai suatu system dan berada dalam suatu system yang lebih besar (NKRI), maka pada tahapan ini juga diperlukan pemahaman dan jaminan terhadap sustainability dari implementasi CG. Hal ini hanya dapat dicapai jika organisasi bersifat “dinamis” terhadap perubahan lingkungan serta melakukan berbagai “perubahan” secara “proaktif” (bukan reaktif). Pada tahapan lebih jauh, implementasi governance seharusnya sudah menjadi “jiwa” (soul) dari setiap individu dan elemen organisasi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Sehingga pada tahapan ini CG sudah menjadi “embedded culture” dalam setiap organisasi. Pada tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menjaga sustainablity penerapan CG secara substansial.
4. Tahap Sustainable
Pada tahap ini, terlepas dari berbagai uraian di atas, perlu dicatat beberapa hal berikut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi CG di Indonesia sesuai dengan format yang telah direncanakan.(1) Setiap organisasi dengan kondisi internal (walaupun berada dalam kondisi eksternal yang relatif sama dan uncontrollable) adalah berbeda, dan pada akhirnya akan memperoleh hasil penerapan CG secara berbeda pula. (2) diagnosis yang tepat terhadap kondisi organisasi serta desain system CG yang sesuai (appropriate) sangat menentukan tingkat kesuksesan implementasi CG. (3) Untuk kondisi Indonesia, tahap conformance (stage 1) telah berjalan cukup lama (1997-2007), namun belum mencapai/memasuki tahap performance (stage 2), diantaranya diduga karena tidak dapat melalui tahapan dalam stage 1 secara baik dan gradual. (4) Faktor eksternal terhadap kesuksesan implementasi CG (seperti rules and regulations, enforcement & culture) belum mendukung sepenuhnya penerapan CG di Indonesia. Dengan demikian diperlukan adanya dukungan dari seluruh elemen sub-sistem di dalam memperkuat CG sistem yang ada di dalam menjamin implementasi dan pencapaian CG outcomes.
Kesimpulan
Pada saat ini hasil penilaian atas good governance Negara Indonesia oleh Transparansi Internasional masih menunjukkan capaian dibawah angka ‘phychologis’ (4 dari skala 10). Sejak krisis ekonomi tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 hasil penilaian good governance negara Indonesia masih berkisar angka + 2,5. Dalam kacamata Governance, masih rendahnya capaian penilaian good governance ini memberikan indikasi bahwa governance Indonesia masih dalam tahap pengenalan ‘introduction’ yaitu masih bersifat kepedulian ‘awareness. Pada tahapan ini praktek-praktek good governance masih mengejar untuk memenuhi formalitas dibandingkan substansinya (forms over substance).
Ke depan praktek-praktek good governance atas sistim anggaran sudah harus ditambah dengan spirit pemahaman ‘understanding’, keinginan ‘willingness’, dan komitmen ‘commitment’. Hijrah dari forms over substance menuju substance over forms membutuhkan penyempurnaan mekanisme governance dengan aura ketiga spirit tersebut. Mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme governancenya, Insya Allah dalam waktu 5 (lima) tahun ke depan Negara Indonesia sudah bisa melewati angka phychologis nilai 4. Tantangan Fungsi Internal Auditor ke depan adalah bagaimana menilai praktek-praktek CG untuk mendapatkan update mekanisme governance yang ada sehingga selalu terjadi continous and feedback control dalam upaya selalu menciptakan better performance dan better competition. Untuk itu profesi internal auditor harus selalu mengedepankan capaian parameter governance yang handal (credible score for 4C).
Data keuangan dan data ekonomi sangat diperlukan seiring dengan kemajuan perekonomian saat ini. Para pemilik atau penanam modal sudah menyebar ke segala pelosok daerah dan operasinya sudah tidak hanya di lingkungan dalam negeri namun sudah meluas hingga ke luar negeri. Modal yang ditanamkan dalam perusahaan harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Oleh karena itu, mereka sangat memerlukan laporan keuangan yang dapat dipercaya dari perusahaan dimana mereka menanamkan modalnya.
Bank-bank melakukan pengawasan dalam pemberian kredit agar uang yang dipinjamkan tersebut selamat dan menghasilkan bunga yang diharapkan. Sehingga mereka sangat memerlukan laporan keuangan guna menilai kemampuan ekonomi para nasabah atau calon nasabahnya. Dalam pasar modal juga sangat diperlukan laporan keuangan bagi perusahaan yang akan go public. Demikian juga pemerintah memerlukan laporan keuangan wajib pajak sebagai dasar penentuan pajak agar lebih obyektif. Pihak-pihak lain seperti calon kreditur, calon investor, serikat buruh, lembaga-lembaga keuangan serta industri lainnya juga sangat memerlukan laporan keuangan. Oleh karena itu laporan keuangan yang disajikan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga para pengambil keputusan yang mendasarkan diri pada laporan keuangan tersebut tidak tersesat. Hal itulah yang menjadikan peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan.
A. Sejarah Awal Profesi Akuntan
Profesi akuntan telah dimulai sejak abad ke-15 walaupun sebenarnya masih dipertentangkan para ahli mengenai kapan sebenarnya profesi ini dimulai. Pada abad ke-15 di Inggris pihak yang bukan pemilik dan bukan pengelola yang sekarang disebut auditor diminta untuk memeriksa apakah ada kecurangan yang terdapat di pembukuan atau di laporan keuangan yang disampaikan oleh pengelola kekayaan pemilik harta.
Menurut sejarahnya para pemilik modal menyerahkan dananya kepada orang lain untuk dikelola/dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Kalau kegiatan ini belum besar umumnya kedua belah pihak masih dapat saling percaya penuh sehingga tidak diperlukan pemeriksaan. Namun semakin besar volume kegiatan usaha, pemilik dana kadang-kadang merasa was-was kalau-kalau modalnya disalahgunakan oleh pengelolanya atau mungkin pengelolanya memberikan informasi yang tidak obyektif yang mungkin dapat merugikan pemilik dana.
Keadaan inilah yang membuat pemilik dana membutuhkan pihak ketiga yang dipercaya oleh masyarakat untuk memeriksa kelayakan atau kebenaran laporan keuangan/ laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana. Pihak itulah yang kita kenal sebagai Auditor.
B. Perkembangan Profesi Akuntan
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi ke dalam 4 periode yaitu:
1. Pra Revolusi Industri
Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal adanya dua juru tulis yang bekerja terpisah dan independen. Mereka bekerja untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban pegawainya atas penyajian laporan keuangan.
Hasil kerja kedua juru tulis ini kemudian dibandingkan, dari hasil perbandingan tersebut jelas sudah terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini adalah untuk membuat dasar pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pemakai jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik dana.
2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya pendekatan audit masih bersifat 100% dan fungsinya untuk menemukan kesalahan dan penyelewengan yang terjadi. Namun karena munculnya perkembangan ekonomi setelah revolusi industri yang banyak melibatkan modal, faktor produksi, serta organisasi maka kegiatan produksi menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan kreditur.
Secara resmi di Inggris telah dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun 1882, dalam peraturan ini diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksan independen untuk perusahaan yang menjual saham. Inilah asal mula profesi akuntan secara resmi (formal).
3. Tahun 1900 – 1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit. Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran laporan keuangan. Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan besarnya pajak.
4. Tahun 1930 – Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh, konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak yang membutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.
Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia
Perkembangan profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia. Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2. Periode Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke dalam enam periode yaitu:
a. Periode I (sebelum tahun 1954)
Pada periode I telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan, dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai akuntan.
Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar “akuntan” yang tidak sah.
b. Periode II (tahun 1954 – 1973)
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor di Indonesia berjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara.
Perluasan pasar profesi akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam negeri tetap ada.
Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik.
c. Periode III (tahun 1973 – 1979)
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989 menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember 1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini, pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia.
Pada akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor 52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan publik.
Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Untuk lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei 1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik.
Sophar Lumban Toruan pada tahun 1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
1. Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif yang diterima oleh semua pihak.
2. Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak.
3. Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi.
Kesepakatan ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
d. Periode IV (tahun 1979 – 1983)
Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut. Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
e. Periode V (tahun 1983 – 1989)
Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun 1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode etik dalam kongres ke V tahun 1986. Setelah melewati masa-masa suram, pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut.
Pada tahun 1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986 tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik, prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik.
Dengan keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin; pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan asing.
Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988 tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:
1. Membantu perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
2. Memberikan masukan kepada IAI atau seksi akuntan publik mengenai liputan yang dikehendaki Departemen Keuangan dalam program pendidikan
3. Melaksanakan penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan publik mengenai hal-hal yang dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
4. Mengusahakan agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu pelaksanaannya
5. Memantau laporan berkala kegiatan tahunan KAP
Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/KMK.01/1987 tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1. Untuk melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan public / akuntan negara untuk dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2. Laporan keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3. Jangka waktu antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek tidak boleh melebihi 180 hari.
f. Periode VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian, masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan akademisi. Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik. Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1. Tumbuhnya pasar modal
2. Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non-bank
3. Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4. Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan perekonomian
Pada awal 1992 profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
1. Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
2. Makin baiknya transportasi dan komunikasi
3. Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
4. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena pertama dan kedua.
Konsekuensi perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan menimbulkan:
1. Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan dan penyusunan laporan keuangan.
2. Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk selalu menambah pengetahuan.
3. Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
C. Profesi Akuntansi
Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003) yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Dalam arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi, pajak dan konsultan manajemen. Profesi Akuntan biasanya dianggap sebagai salah satu bidang profesi seperti organisasi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Supaya dikatakan profesi ia harus memiliki beberapa syarat sehingga masyarakat sebagai objek dan sebagai pihak yang memerlukan profesi, mempercayai hasil kerjanya. Adapun ciri profesi menurut Harahap (1991) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki bidang ilmu yang ditekuninya yaitu yang merupakan pedoman dalam melaksanakan keprofesiannya.
2. Memiliki kode etik sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku anggotanya dalam profesi itu.
3. Berhimpun dalam suatu organisasi resmi yang diakui oleh masyarakat/pemerintah.
4. Keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat.
5. Bekerja bukan dengan motif komersil tetapi didasarkan kepada fungsinya sebagai kepercayaan masyarakat.
Persyaratan ini semua harus dimiliki oleh profesi Akuntan sehingga berhak disebut sebagai salah satu profesi. Perkembangan profesi akuntansi sejalan dengan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masyarakat yang makin lama semakin bertambah kompleksnya. Gelar akuntan adalah gelar profesi seseorang dengan bobot yang dapat disamakan dengan bidang pekerjaan yang lain. Misalnya bidang hukum atau bidang teknik. Secara garis besar Akuntan dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Akuntan Publik (Public Accountants)
Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen yang memberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnya mendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari Departemen Keuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan sistem manajemen.
2. Akuntan Intern (Internal Accountant)
Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Akuntan intern ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. Tugas mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan masalah perpajakan dan pemeriksaan intern.
3. Akuntan Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di kantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK).
4. Akuntan Pendidik
Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.
Seseorang berhak menyandang gelar Akuntan bila telah memenuhi syarat antara lain: Pendidikan Sarjana jurusan Akuntansi dari Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi yang telah diakui menghasilkan gelar Akuntan atau perguruan tinggi swasta yang berafiliasi ke salah satu perguruan tinggi yang telah berhak memberikan gelar Akuntan. Selain itu juga bisa mengikuti Ujian Nasional Akuntansi (UNA) yang diselenggarakan oleh konsorsium Pendidikan Tinggi Ilmu Ekonomi yang didirikan dengan SK Mendikbud RI tahun 1976.
D. Organisasi Resmi Profesi Akuntan Indonesia
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, Indonesian Institute of Accountants) adalah organisasi profesi akuntan di Indonesia. Kantor sekretariatnya terletak di Graha Akuntan, Menteng, Jakarta.
Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956. Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Susunan pengurus pertama terdiri dari:
• Ketua: Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo
• Panitera: Drs. Mr. Go Tie Siem
• Bendahara: Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)
• Komisaris: Dr. Tan Tong Djoe
• Komisaris: Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)
Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah
• Prof. Dr. Abutari
• Tio Po Tjiang
• Tan Eng Oen
• Tang Siu Tjhan
• Liem Kwie Liang
• The Tik Him
Ketika itu, tujuan IAI adalah:
1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.
Sekarang IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
Anggota individu terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah pemegang gelar akuntan atau sebutan akuntan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan pemegang sertifikat profesi akuntan yang diakui oleh IAI. Anggota luar biasa adalah sarjana ekonomi jurusan akuntansi atau yang serupa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan profesi akuntan. Sedangkan anggota kehormatan adalah warga negara Indonesia yang telah berjasa bagi perkembangan profesi akuntan di Indonesia. Pada saat didirikannya, hanya ada 11 akuntan yang menjadi anggota IAI, yaitu para pendirinya. Dari waktu ke waktu anggota IAI terus bertambah. Para akuntan yang menjadi anggota IAI tersebar diseluruh Indonesia dan menduduki berbagai posisi strategis baik dilingkungan pemerintah maupun swasta.
Sebagaimana keputusan Kongres Luar Biasa IAI pada bulan Mei 2007, selain keanggotaan perorangan IAI juga memiliki keanggotaan berupa Asosiasi, dan pada saat ini IAI telah memiliki satu anggota Asosiasi yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yang sebelumnya tergabung dalam IAI sebagai Kompartemen Akuntan Publik. Perusahaan pengguna jasa profesi akuntan sebagai corporate member. IAI juga membuka keanggotaan selain para akuntan, yaitu para mahasiswa akuntansi yang tergabung dalam junior member. Kegiatan IAI antara lain:
• Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan
• Penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Akuntan Manajemen (Certified Professional Management Accountant)
• Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL)
Pada skala internasional, IAI aktif dalam keanggotaan International Federation of Accountants (IFAC) sejak tahun 1997. Di tingkat ASEAN IAI menjadi anggota pendiri ASEAN Federation of Accountants (AFA). Keaktifan IAI di AFA pada periode 2006-2007 semakin penting dengan terpilihnya IAI menjadi Presiden dan Sekjen AFA. Selain kerjasama yang bersifat multilateral, kerjasama yang bersifat bilateral juga telah dijalin oleh IAI diantaranya dengan Malaysian Institute of Accountants (MIA) dan Certified Public Accountant (CPA).
Para pemilik modal menyerahkan dananya kepada perusahaan untuk dikelola / dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yang hasilnya nanti akan dibagi antara pemilik dan pengelola modal tadi. Modal yang ditanamkan tersebut harus mendapatkan pengawasan atau pengendalian. Sehingga mereka memerlukan laporan keuangan . Peranan akuntan sangat penting dalam penyajian laporan keuangan agar dapat memberikan informasi yang objekif, sehingga tidak merugikan pemilik modal.
Menurut Baily, perkembangan profesi akuntan dibagi ke dalam 4 periode yaitu pra revolusi indusri, masa revolusi indusri tahun 1900, tahun 1900-1930 dan tahun 1930-sekarang. Di Indonesia, perkembangan profesi akuntan dapat dibagi menjadi 2 periode menurut Olson yaitu periode kolonial dan periode sesudah kemerdekaan. profesi akunatn berkembang sejalan dengan berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Kebutuhan akan jenis jasa akuntansi yang diperlukan oleh masarakat semakin lama semakin kompleks. Secara garis besar, akuntan dapat digolongkan menjadi 4 yaitu akuntan public, akunan intern, akuntan pemerinah dan akuntan pendidik. Sehingga keberadaan profesi akuntan diakui sebagai sebuah profesi kepercaaan masarakat. Profesi akuntan diharapkan dapat mengatasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang akan datang.
Peluang Profesi Akuntansi di Indonesia
Profesi Akuntan Publik Masih Langka
Profesi akuntan publik di Indonesia dinilai masih sangat langka, padahal kebutuhan profesi tersebut bagi lembaga keuangan dan perusahaan sebagai tenaga audit sangat tinggi. Akibat kelangkaan profesi itu, maka peluang menjadi akuntan sangat terbuka lebar.
Demikian salah satu poin penting yang terungkap dalam seminar akuntansi bertema ‘’Perkembangan Terkini Praktik Akuntan Publik dan Dampaknya Program Studi Akuntansi’’ di Hotel Beringin Salatiga. Seminar yang dimoderatori Dosen FE UKSW itu, menghadirkan pembicara Ketua Umum IAPI dan Ketua Pengawas IAPI.
Ketua Umum IAPI mengatakan, dibandingkan Malaysia jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat kurang. Berdasarkan data Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), sampai saat ini akuntan publik yang memegang izin praktik sebanyak 866 orang. Anggota tersebut tersebar di 517 kantor, termasuk kantor cabang. ‘’Sedangkan jumlah akuntan di Malaysia 14 ribu orang,’’ kata staf pengajar FE Universitas Indonesia (UI) itu.
Pengawas IAPI mengungkapkan, kekurangan profesi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi negara tetangga lain, seperti Singapura. Sejumlah akuntan yang bekerja di lembaganya pernah dibajak perusahaan di luar negeri dengan iming-iming pendapatan lebih menjanjikan.
Etika Profesi Diakuinya, bila profesi akuntan publik itu berpotensi sebagai penjahat ‘’kerah putih’’ bila tidak dibarengi moral yang baik serta menjalankan etika profesi yang benar. Dia mencontohkan kasus kejahatan ‘’kerah putih’’ di luar negeri yang melibatkan akuntan.
Lalu sejalan dengan tingginya kebutuhan profesi akuntan, harus sinergi dengan universitas, seperti FE UKSW sebagai pencetak tenaga akuntan. Karena selama ini perguruan tinggi seakan berjalan seadanya, tanpa lihat misi sebagai akuntan. Adapun IAPI merupakan organisasi profesi akuntan publik di Indonesia yang telah diakui pemerintah mulai Februari 2008 lalu.
Anak Muda Tak Mau Jadi Akuntan Publik
Dewan Kehormatan Ikatan Akuntansi Publik Indonesia (IAPI) Sukrisno Agoes mengatakan, profesi akuntan publik tidak diminati kalangan muda dan fresh graduate (sarjana baru).
"Dari 430 kantor akuntan publik (KAP) dan 2 koperasi jasa audit (KJA) di Indonesia, sebagian besar personelnya didominasi kalangan orang tua," katanya pada seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung. Hadir pada kesempatan itu, Ketua IAPI Dra Tia Adityasih CPA dan sejumlah dosen Akuntansi Unpad.
Kurangnya minat kalangan muda karena profesi akuntan publik sangat berisiko. Namun, penghasilannya masih minim. Menurut dia, risiko yang dimaksud adalah akuntan harus mampu menjaga independensi karena mengaudit laporan keuangan BUMN. Ketua IAPI Tia Adityasih mengatakan, sampai sekarang, akuntan publik masih diatur oleh pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Seharusnya, jika akuntan publik terkena kasus hukum, Departemen Keuangan harus bertanggung jawab.
Selain itu, kata dia, sekarang banyak "akuntan palsu" yang bebas membuka praktik. Ini terjadi karena belum ada pengawasan dari pemerintah, sementara "akuntan palsu" tidak bertanggung jawab kepada lembaga profesi. "Berbagai kasus hukum yang dihadapi akuntan publik masih merupakan kasus pidana, dan maksimal hukuman penjara lima tahun, padahal seharusnya menggunakan kitab undang-undang hukum perdata," katanya.
Menurut Sukrisno, jumlah akuntan publik di Indonesia masih sangat sedikit, dan tidak sebanding dengan banyaknya laporan keuangan yang harus diaudit. Sejak disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan semua perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Sedikitnya ada 87 PTN dan 2.700 PTS yang laporan keuangannya harus diaudit.
Selain itu, menjelang pemilu, akuntan publik harus mengaudit laporan keuangan partai politik, mulai dari parpol di pusat, hingga tingkat kabupaten. Padahal, jumlah akuntan publik saat ini masih sedikit. Terkait dengan kenyataan tersebut, Sukrisno kecewa terhadap pemerintah yang masih menganggap sepele profesi akuntan publik. Guru besar Akuntansi Unpad Prof Dr Ilya Avianti, SE MSi Ak, mengatakan, pekerjaan akuntan publik memang hanya ditujukan bagi orang-orang yang "hobi akuntansi".
Meskipun penghasilan dari profesi ini sedikit. Namun, dari segi kualitas hasil kerja, akuntan publik masih jauh di atas akuntan perusahaan. "Akuntan publik berkesempatan mengaudit laporan keuangan dari berbagai bidang sehingga pada 10 tahun mendatang akan ada perbedaan kualitas antara akuntansi publik dan akuntansi perusahaan," kata Ilya. Jadi sampai dengan hari ini peluang profesi akuntansi di Indonesia masih sangat terbuka lebar.
Tantangan Profesi Auditor Internal dalam Penerapan Good Governance
Governance secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu cara atau metode bagaimana membuat alokasi sumber daya organisasi secara efisien dan efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Secara sederhana juga dapat dikatakan bahwa Outcome Governance sebuah organisasi dapat dikatakan memberikan nilai tambah berarti apabila organisasi tersebut menunjukkan peningkatan kinerja, konflik kepentingan berhasil di tekan pada level yang minimal, dan harmonisasi para pengambil keputusan berjalan dengan baik serta sumber daya organisasi dialokasikan secara efisien dan efektif. Outcome governance diatas dapat dicapai apabila proses governancenya memiliki pencapaian ukuran parameter yang kompetitif, yaitu: kompetensi, keselarasan, komitmen, dan biaya (4C: competence, congruence, commitment, and cost). Disamping ukuran parameternya, praktek-praktek governance harus selalu bernafaskan jiwa transparansi, akuntabilitas, dan berkeadilan serta memiliki struktur dan mekanisme governance yang handal.
Berdasarkan teori organisasi, governance akan berjalan sesuai dengan target yang diinginkan apabila instrumen-instrumen governance proses terus di tumbuh kembangkan sesuai dengan dinamika lingkungan demi mencapai tujuan yang dinginkan. Pertama, Peraturan Perundang-undangan perlu terus diperkuat agar supaya pemakaian sumber daya bisa secara terus menerus dikelola secara efisien dan efektif, lingkungan organisasi bisa dikendalikan dan terkendali untuk memberikan nilai tambah bagi pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu tujuan organisasi harus ditentukan terlebih dahulu sehingga adanya kesamaan persepsi terhadap tujuan bersama para pihak yang berkepentingan, alokasi sumber daya organisasi memiliki arah yang jelas sehingga efesiensi dan efektifitas dapat terukur dan terkendali.
Kedua, dalam sebuah organisasi apakah sebuah organisasi publik ataupun privat harus ada pemisahan fungsi yang tegas antara wewenang, tugas, dan tanggungjawab antara pihak yang menjalankan dengan pihak yang mengawasi. Fungsi kedua pihak ini harus selalu terjaga secara seimbang dan kuat serta efektif. Pemisahan fungsi ini dimaksudkan agar supaya pengelolaan sumber daya organisasi berjalan secara sehat. Ketiga, dalam sebuah organisasi akan selalu ada beraneka sikap, tingkah laku, dan kepentingan individual atau kelompok dimana seringkali berbagai tujuan ini tidak konsisten dengan tujuan bersama organisasi. Untuk itu, pengembangan Praktek-Praktek Good Governance akan banyak menghadapi kendala dan tantangan sehingga sistim dan prosedur, peraturan, dan kebijakan Organisasi yang ada harus selalu disesuaikan dan disempurnakan agar supaya fit-in dengan kondisi organisasi. Dengan kata lain, governance sistim itu bersifat dinamis, responsif, dan adaptif. Perangkat Kebijakan Governance yang dikembangkan harus bisa mengadopsi berbagai kepentingan tersebut dengan tetap mengedepankan tujuan organisasi.
Dalam kontek Governance untuk Manajemen Pengeluaran Publik, payung hukum Governancenya secara jelas telah memiliki peraturan perundang-undangan yang kuat. Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan Pemerintahan. Dengan demikian maka Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif) memiliki dan memegang kekuasaan yang besar untuk ‘mengembangkan dan menjaga’ governance atas manajemen anggaran pengeluaran, bagaimana membuat alokasi anggaran pengeluaran kepada publik secara efisien dan efektifitas. Sistim Anggaran yang ada saat ini telah di dukung oleh berbagai peraturan baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri dan Surat Edaran Menteri.
Dewan Direksi sebagai Decision Management. Peraturan perundang-undangan yang ada baik bagi Perusahaan Publik maupun BUMN secara konseptual telah menyatakan bahwa rencana anggaran harus disusun berdasarkan rencana kerja. Artinya adanya keterkaitan antara anggaran dengan strategic planning. Namun demikian proses penyusunan anggaran sejak perencanaan sampai dengan pelaporan masih memiliki berbagai kelemahan atas governancenya. Kelemahan utama dalam sistim anggaran adalah masih belum bekerjanya mekanisme pengendalian internal dan eksternal. Sebagai akibatnya, misalnya: (1) ketidak efisienan dan efektifan anggaran masih relatif tinggi, dan (2) distorsi ‘mismatch’ antara strategic planning dengan program kerja dan anggaran masih relatif tinggi. Kedua hal ini merupakan masalah klasik yang terus kita upayakan penyelesaiannya.
Apabila dicermati secara baik maka faktor-faktor penyebab kedua hal tersebut diatas adalah sebagai berikut. Pertama, keterlibatan aparat pengawas internal untuk menjaga akuntabilitas dan kredibilitas atas sistim anggaran masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, belum jelasnya siapa, apa, bagaimana, dan dimana mekanisme pengendalian internal atas sistim anggaran ada ‘exist’ demi menjaga substansi anggaran berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, transparansi dalam sistim anggaran masih sangat terbatas sekali dimana transparansi baru ada dalam tahapan pelaporan yaitu laporan keuangan hasil audit Kantor Akuntan Publik. Keempat parameter governance sistim anggaran seperti competence, congruence, commitment, dan cost belum menjadi kebutuhan yang harus ditegakkan pada semua proses pengendalian yang berkelanjutan ‘continious control’ pada semua tahapan dalam sistim anggaran dan adanya ‘feedback control’.
Dewan Komisaris sebagai Decision Control. Pihak komisaris merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk memonitor sistim anggaran. Dewan Komisaris harus menilai apakah program-program kerja yang diajukan oleh Dewan Direksi telah sesuai/konsisten dengan Visi/Misi Perusahaan? Apakah alokasi anggaran yang disusun telah sesuai dengan prioritas program dan apakah “cost’ anggaran masing-masing prioritas program tersebut besarannya kompetitif. Namun pada kenyataannya, dewan Komisaris cenderung mengedepankan pembahasan yang bersifat operasional dibandingkan yang bersifat strategis untuk memonitor sistim anggaran agar supaya menjadi anggaran yang kompetitif. Fakta yang ada sekarang formalitas pelaksanaan dan monitoring sistim anggaran lebih menonjol dibandingkan dengan substansi anggaran itu sendiri (form over substance).
Untuk mengatasi kendala-kendala sistim anggaran tersebut diatas Perusahaan harus menguatkan mekanisme governance yang ada melalui penyempurnaan Peraturan dan kebijakan Perusahaan yang berlaku dan mengeluarkan beberapa Kebijakan Governance untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas atas sistim anggaran yang handal. Pemberdayaan dan penguatan fungsi internal control adalah merupakan aksi nyata yang harus diambil Perusahaan sebagai prasyarat penegakkan good governance. Budaya disiplin atas konformiti terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku juga harus menjadi sebuah kebutuhan sehingga terjadi transformasi dari ‘form over substance’ menjadi ‘substance over form’.
Governance dan Pengendalian Internal
Pertanyaan paling umum yang muncul di dalam praktik adalah; apa manfaat yang dapat terlihat (tangible benefits) dari penerapan corporate governance di sebuah perusahaan? Apakah dengan diterapkannya konsepsi corporate governance secara “baik” akan dapat meningkatkan laba atau minimal meningkat kinerja keuangan perusahaan. Jika esensi dari governance adalah; untuk meyakinkan seluruh pihak yang berkepentingan bahwa aktivitas organisasi dijalankan secara profesional serta “bebas” dari berbagai konflik kepentingan, maka seharusnya kinerja perusahaan meningkat, minimal kinerja keuangan. Lebih lanjut jika governance memberikan penekanan pada unsur pengendalian atas pihak yang membuat keputusan di dalam sebuah organisasi; apakah penerapan governance juga diharapkan dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang (kekuasaan)?
Disamping sebagai seorang akademisi, penulis juga berprofesi sebagai seorang konsultan dimana penulis pernah mendapat sebuah pertanyaan aplikatif yang mengarah pada esensi pertanyaan di atas. Salah satu Perusahaan perbankan yang telah go-public di Indonesia telah mendapatkan peringkat (rating) sebagai perusahaan yang telah menerapkan governance secara baik oleh sebuah lembaga pemeringkat. Namun demikian, beberapa waktu kemudian diperoleh berita bahwa perusahaan tersebut “telah dibobol” oleh sindikat yang juga melibatkan “orang dalam” dengan jumlah uang yang fantastis. Pertanyaan yang muncul adalah; bukankah Perusahaan dimaksud telah dianggap memiliki dan menerapkan governance secara baik? Kenapa masih terjadi penyelewengan pada korporasi tersebut?
Dalam kaitan ini perlu dipisahkan antara isu corporate governance dan pengendalian internal. Isu corporate governance lebih menekankan pada hubungan berbagai pihak pada pengendalian di tingkatan “stratejik” atau di level korporasi, sementara isu pengendalian internal lebih menitik beratkan pada upaya pengendalian di tingkat operasional. Dengan demikian, walaupun fungsi keduanya berbeda dalam tingkatan, keduanya mempunyai hubungan yang erat. Dalam kaitan ini Root (1998, p. 8) menyatakan bahwa sudah saatnya konsepsi pengendalian internal disatukan (merge) dengan tujuan dari corporate governance sehingga pada akhirnya akan menghilangkan keraguan terhadap fungsi masing-masing dalam kerangka pengendalian korporasi.
Di dalam konsepsi governance Board of Directors (dalam pola Anglo-Saxon) mempunyai peranan yang krusial dalam penerapannya atau yang dikenal dengan mekanisme board governance. Sementara itu di dalam pengendalian internal, peranan Chief Executive Officers (manajemen) merupakan pihak yang memegang peranan kunci di dalam melakukan tugasnya (internal control oversight) yang diharapkan dapat memberikan nilai tambahan terbaik (add the best value) untuk korporasi. Namun demikian menurut Root (1998) dalam melaksanakan fungsi oversight dimaksud pihak manajemen harus mempunyai sikap (attitudes), tindakan (actions) serta pertimbangan (judgments) yang sesuai dan koheren (compatible) dengan berbagai prinsip good corporate governance. Jika hal ini dilakukan diharapkan kedua konsepsi (governance dan pengendalian internal) dapat berjalan beriringan dan memberikan sinergi di dalam pelaksanaan aktivitas korporasi, baik operasional maupun stratejik, di dalam mencapai tujuan perusahaan secara lebih efektif.
Namun demikian mengharapkan manajemen untuk melakukan hal di atas relatif tidak mudah karena posisi mereka dalam korporasi sarat dengan potensi munculnya konflik kepentingan. Untuk itu dari sudut governance, secara simultan “harapan” ini juga harus dilakukan pada tingkatan board (supervisory board – dewan pengawas) agar dapat menghasilkan esensi pengendalian yang efektif . Dalam kaitan inilah sebenarnya diperlukan adanya komite audit (audit committee) sebagai elemen penting di dalam suatu kerangka board governance. Komite audit, seperti halnya berbagai bentuk komite lainnya yang dikenal dalam governance , merupakan “perangkat” kerja board governance sebagai organ penting di dalam sebuah korporasi. Dalam kaitan fungsi komite audit inilah dianggap fungsi governance dan pengendalian internal dapat dilihat hubungannya lugas.
Sesuai dengan cakupan tugas dan tanggung jawabnya, komite audit dipimpin oleh komisaris independen yang merangkap sebagai ketua komite audit. Di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, anggota komite ini dapat berasal dari pihak yang berada di luar struktur perusahaan (misalnya profesional dan akademisi yang memiliki latar belakang audit) yang mempunyai kualifikasi serta bebas dari hubungan konflik dengan berbagai organ perusahaan lainnya (independen).
Komite audit berperan penting dalam proses pelaporan keuangan, sebagai sebuah “financial monitor” dan berperan penting dalam proses laporan keuangan (Abott, Parker, dan Peters, 2004). Komite audit akan berhubungan dengan pengendalian keuangan perusahaan, termasuk melakukan telaah (review) terhadap kehandalan pengendalian internal yang dimiliki perusahaan serta kepatuhan (compliance) terhadap berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Komite audit juga berfungsi untuk melakukan seleksi penunjukkan kantor akuntan publik dan melakukan evaluasi atas kinerja kantor akuntan publik yang ada. Cakupan tugas komite audit dengan melakukan “hubungan” tidak saja dengan internal auditor perusahaan tetapi juga dengan auditor eksternal dalam upaya menghasilkan laporan keuangan perusahaan yang dapat mencermin tingkat “good governance” (Abott, Parker dan Peters, 2004; Raghunandan dan Rama, 2003; dan Asbaugh dan Warfield, 2003).
Abott, Parker dan Peters (2004) menyatakan bahwa komite audit berperan penting dalam menilai efektifitas kinerja fungsi internal audit dan eksternal audit. Hal ini konsisten dengan pernyataan Raghunandan dan Rama (2003) yang menyatakan bahwa komite audit memainkan peran kunci dalam proses pelaporan keuangan dengan “overseeing and monitoring management” dan juga keterlibatannya dengan eksternal auditor dalam proses pelaporan keuangan.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa tingkatan mekanisme governance (strategic level) dan pengendalian internal (operational level) adalah berbeda. Namun demikian fungsi keduanya dapat “diselaraskan” di dalam rangka mempromosikan (enhancing) praktik governance agar menjadi lebih baik melalui upaya kompatibilitas fungsi keduanya. Diharapkan melalui proses ini keduanya akan bersinergi di dalam efektifitas pencapaian tujuan korporasi.
Tantangan Profesi Internal Auditor: Road Map for Governance Policy
Period 2007-2030
Perkembangan implementasi CG diawali dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan prinsip GCG diikuti dengan pembentukan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG). Hal tersebut dilakukan pada saat Republik Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang melemahkan sendi-sendi perekonomian negara. Melalui adopsi prinsip GCG tersebut diharapkan kegiatan perekonomian Nasional dapat segera pulih dan mampu berakselerasi lebih cepat, karena salah satu penyebab rentannya NKRI dalam menghadapi krisis adalah lemahnya penerapan GCG (ADB, 2000). Namun demikian, pada awal periode adaptasi prinsip CG tersebut di awal tahun 1997 tingkat awareness dari masayarakat atau pelaku bisnis belum sampai pada tahapan substantif. Dengan kata lain praktek-praktek governance yang berjalan masih bersifat sebagai sebuah kewajiban ketimbang kebutuhan..... form over substance.
Di dalam perjalanan penerapan prinsip CG hingga satu dekade berikutnya, fase penerapan CG di Indonesia masih berada dalam tahap introduksi dan berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian (awareness) terhadap berbagai aspek CG. Dalam periode ini, peranan pemerintah terlihat masih sangat dominan, sementara para pelaku bisnis, terutama non-multinational companies masih belum sepenuh hati di dalam menerapkan CG. Hal ini diduga disebabkan oleh karena belum terdapat bukti dan manfaat nyata (tangible) dari penerapan CG yang dilakukan. Namun demikian, dengan semakin gencarnya pemerintah untuk mendorong penerapan CG, terutama setelah mewajibkan perusahaan Publik dan BUMN sebagai lokomotif pengembangannya, maka telah dapat diamati terjadinya peningkatan yang signifikan dari implementasi CG. Minimal hal ini tergambar dari semakin banyaknya (kuantitas) perusahaan dan organsiasi lainnya yang mengadopsi CG.
Dari sudut pemerintah dan berbagai pihak, perkembangan penerapan CG dalam dekade pertama ini, juga ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup signifikan sebagai “daya ungkit” (leverage) dalam upaya implementasi CG secara substantif. Disamping berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi praktik CG (seperti untuk BUMN, perusahaan yang Go-publik, institusi perbankan), maka telah dilakukan perbaikan terhadap lembaga KNKCG. Lembaga yang awalnya menggunakan nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) selanjutnya berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Perubahan nama lembaga juga ini juga diikuti dengan perubahan paradigma pendekatan implementasi governance secara sistematis. Hal ini terbukti dengan memperhatikan governance untuk sektor publik (public sector governance), karena secara sistem keberadaan institusi publik berhubungan dengan institusi privat seperti perusahaan atau corporate.
Perkembangan institusi menjadi KNKG juga menandai perlunya perhatian yang berimbang antara implementasi CG di dua sektor utama tersebut; institusi korporasi yang bergerak di sektor riil dan institusi publik yang bergerak dan berhubungan dengan penyediaan infrastruktur dan kebijakan (termasuk moneter) yang akan mendorong berjalannya sektor korporasi secara lebih baik. Disamping perbaikan institusi KNKG, perkembangan lainnya yang dominan selama periode awal ini adalah dengan dikeluarkannya Pedoman CG baru (versi 2006) yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari pedoman CG (governance code) versi tahun 2000. Namun demikian, terlepas dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, implementasi CG di Indonesia belum mencapai tahap optimal yang diharapkan. Kurva PEM Governance pada gambar 1 di atas, memperlihatkan pasang surut implementasi CG selama periode tersebut, walaupun telah mengalami peningkatan yang berarti.
1. Tahap Introduction
Pada tahap sebelumnya (1997-2007) diasumsikan telah dilalui tahap Awareness. Pada tahapan ini “aware” (peduli) berhubungan dengan pemahaman terhadap keberadaan (apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana) terhadap berbagai aspek CG. Hal ini telah dilakukan melalui “sosialisasi dan komunikasi” terhadap stakeholders (internal and eksternal) dari setiap organisasi yang menerapkan governance. Dalam jangka waktu satu dekade dan diikuti dengan berbagai upanya nyata oleh berbagai pihak, maka tahapan ini dapat dianggap telah dilalui secara baik. Dengan demikian, untuk periode berikutnya (2007-2016), diharapkan fase implementasi CG di Indonesia telah dapat memasuki tahap berikutnya walaupun masih dalam kualitas penerapan masih mengacu kepada “conformity”.
2. Tahap Conformance
Pada tahap conformance di periode 2007-2016, akan dilalui tiga tahapan berikutnya yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, tahapan understanding atau memahami isu CG melebihi prinsip-prinsip dasar yang ada (TARIF), sehingga komunikasi menjadi lebih intensif karena memunculkan berbagai pertanyaan substansial tentang CG dan penerapannya. Pada penerapan ini, seharusnya para pelaku bisnis yang menerapkan CG sudah harus mempunyai kreangka pikir “beyond compliance” sehingga esensi dari CG telah dapat dipahami dengan baik. Namun demikian,pemahaman secara baik saja tidak cukup untuk mencapai penerapan kualitas CG yang lebih baik. Untuk itu diperlukan tahapan berikutnya berupa keinginan dari berbagai pihak untuk menerapkan CG secara sadar dan substansial.
Tahapan willingness to adopt berhubungan dengan pemahaman terhadap isu substantif CG, dengan pengertian bahwa CG tidak mempunyai arti jika tidak diikuti oleh keinginan (willingness) dari seluruh perangkat organisasi terkait untuk mengadopsi dan menerapkannya di dalam organisasi. Di dalam hal ini yang diperlukan adalah kesediaan untuk merubah cara berpikir (mindset) melalui change management yang terencana secara baik. Pada tahapan ini diasumsikan bahwa keinginan menerapkan perlu dilakukan untuk dapat memasuki tahapan substansial berupa komitmen untuk menerapkannya.
Pada tahapan commitment, pemahaman dan kesediaan menerima dan menerapkan prinsip governance sangat ditentukan oleh komitmen seluruh stakeholder di dalam mendukung implementasi CG (secara formal ditandai dengan penandatanganan pakta integritas, governance charter dan sebagainya). Jika dihubungkan dengan proses sekuensial penerapan CG sebelumnya, maka komitmen menerapkan ini tidak akan dapat dilakukan jika para governance stakeholders tidak peduli (aware) dengan keberadaan dan manfaat CG, tidak memahami (understanding) fungsi dan peranan serta tujuan CG yang dilanjutkan dengan adanya “niat” (willingness) untuk menerapkannya.
Upgrading posisi implementasi CG di Indonesia ke level medium diperkirakan akan terjadi pada tahiun 2012 yang diperkirakan terjadi pada tahapan “willingness to adopt”. Namun demikian hal ini hanya bisa di capai jika tahapan dan proses sebelumnya dilalui dengan baik serta memperoleh hasil optimal. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan posisi ini baru dapat di up-grade setelah memasuki tahapan committment. Sehingga dapat disimpulkan bahwa percepatan implementasi CG dan capaian (outcomes) dari hasil implementasi tersebut sangat ditentukan oleh partisipasi dan dorongan semua pihak atau stakeholders yang terlibat di dalam sistem governance.
3. Tahap Performance and Improvement
Diperkirakan, penerapan CG mencapai tahapan yang lebih baik (good) setelah memasuki periode ke tiga (2016-2022). Hal ini hanya dapat terlaksana jika semua proses sebelumnya dilalui secara baik. Pada tahapan ini esensi penerapan CG diperkirakan sudah memasuki tahapan performance. Pada tahapan ini seluruh perangkat organisasi (sub-system) telah menerapkan CG didukung perubahan mindset yang ada, sehingga muncul slogan “from conformance to performance”.
Pada tahapan ini, dengan asumsi seluruh perangkat governance yang dibutuhkan (governance structure dan governance system/termasuk governance mechanism) telah berjalan secara baik , maka outcomes “awal” dari implementasi governance seharusnya sudah dapat dirasakan (e.g. reduce of conflict of interests, improved performance, efficient allocation of resources dll). Sesuai dengan sudut pandang bahwa governance sebagai suatu system dan berada dalam suatu system yang lebih besar (NKRI), maka pada tahapan ini juga diperlukan pemahaman dan jaminan terhadap sustainability dari implementasi CG. Hal ini hanya dapat dicapai jika organisasi bersifat “dinamis” terhadap perubahan lingkungan serta melakukan berbagai “perubahan” secara “proaktif” (bukan reaktif). Pada tahapan lebih jauh, implementasi governance seharusnya sudah menjadi “jiwa” (soul) dari setiap individu dan elemen organisasi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Sehingga pada tahapan ini CG sudah menjadi “embedded culture” dalam setiap organisasi. Pada tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menjaga sustainablity penerapan CG secara substansial.
4. Tahap Sustainable
Pada tahap ini, terlepas dari berbagai uraian di atas, perlu dicatat beberapa hal berikut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi CG di Indonesia sesuai dengan format yang telah direncanakan.(1) Setiap organisasi dengan kondisi internal (walaupun berada dalam kondisi eksternal yang relatif sama dan uncontrollable) adalah berbeda, dan pada akhirnya akan memperoleh hasil penerapan CG secara berbeda pula. (2) diagnosis yang tepat terhadap kondisi organisasi serta desain system CG yang sesuai (appropriate) sangat menentukan tingkat kesuksesan implementasi CG. (3) Untuk kondisi Indonesia, tahap conformance (stage 1) telah berjalan cukup lama (1997-2007), namun belum mencapai/memasuki tahap performance (stage 2), diantaranya diduga karena tidak dapat melalui tahapan dalam stage 1 secara baik dan gradual. (4) Faktor eksternal terhadap kesuksesan implementasi CG (seperti rules and regulations, enforcement & culture) belum mendukung sepenuhnya penerapan CG di Indonesia. Dengan demikian diperlukan adanya dukungan dari seluruh elemen sub-sistem di dalam memperkuat CG sistem yang ada di dalam menjamin implementasi dan pencapaian CG outcomes.
Kesimpulan
Pada saat ini hasil penilaian atas good governance Negara Indonesia oleh Transparansi Internasional masih menunjukkan capaian dibawah angka ‘phychologis’ (4 dari skala 10). Sejak krisis ekonomi tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 hasil penilaian good governance negara Indonesia masih berkisar angka + 2,5. Dalam kacamata Governance, masih rendahnya capaian penilaian good governance ini memberikan indikasi bahwa governance Indonesia masih dalam tahap pengenalan ‘introduction’ yaitu masih bersifat kepedulian ‘awareness. Pada tahapan ini praktek-praktek good governance masih mengejar untuk memenuhi formalitas dibandingkan substansinya (forms over substance).
Ke depan praktek-praktek good governance atas sistim anggaran sudah harus ditambah dengan spirit pemahaman ‘understanding’, keinginan ‘willingness’, dan komitmen ‘commitment’. Hijrah dari forms over substance menuju substance over forms membutuhkan penyempurnaan mekanisme governance dengan aura ketiga spirit tersebut. Mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme governancenya, Insya Allah dalam waktu 5 (lima) tahun ke depan Negara Indonesia sudah bisa melewati angka phychologis nilai 4. Tantangan Fungsi Internal Auditor ke depan adalah bagaimana menilai praktek-praktek CG untuk mendapatkan update mekanisme governance yang ada sehingga selalu terjadi continous and feedback control dalam upaya selalu menciptakan better performance dan better competition. Untuk itu profesi internal auditor harus selalu mengedepankan capaian parameter governance yang handal (credible score for 4C).
Subscribe to:
Posts (Atom)