Pages

Wednesday, December 8, 2010

Tantangan Profesi Akuntansi di Indonesia

Tantangan Profesi Internal Auditor: Road Map for Governance Policy Period 2007-2030

Perkembangan implementasi CG diawali dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan prinsip GCG diikuti dengan pembentukan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG). Hal tersebut dilakukan pada saat Republik Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang melemahkan sendi-sendi perekonomian negara. Melalui adopsi prinsip GCG tersebut diharapkan kegiatan perekonomian Nasional dapat segera pulih dan mampu berakselerasi lebih cepat, karena salah satu penyebab rentannya NKRI dalam menghadapi krisis adalah lemahnya penerapan GCG (ADB, 2000). Namun demikian, pada awal periode adaptasi prinsip CG tersebut di awal tahun 1997 tingkat awareness dari masayarakat atau pelaku bisnis belum sampai pada tahapan substantif. Dengan kata lain praktek-praktek governance yang berjalan masih bersifat sebagai sebuah kewajiban ketimbang kebutuhan..... form over substance.

Di dalam perjalanan penerapan prinsip CG hingga satu dekade berikutnya, fase penerapan CG di Indonesia masih berada dalam tahap introduksi dan berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian (awareness) terhadap berbagai aspek CG. Dalam periode ini, peranan pemerintah terlihat masih sangat dominan, sementara para pelaku bisnis, terutama non-multinational companies masih belum sepenuh hati di dalam menerapkan CG. Hal ini diduga disebabkan oleh karena belum terdapat bukti dan manfaat nyata (tangible) dari penerapan CG yang dilakukan. Namun demikian, dengan semakin gencarnya pemerintah untuk mendorong penerapan CG, terutama setelah mewajibkan perusahaan Publik dan BUMN sebagai lokomotif pengembangannya, maka telah dapat diamati terjadinya peningkatan yang signifikan dari implementasi CG. Minimal hal ini tergambar dari semakin banyaknya (kuantitas) perusahaan dan organsiasi lainnya yang mengadopsi CG.

Dari sudut pemerintah dan berbagai pihak, perkembangan penerapan CG dalam dekade pertama ini, juga ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup signifikan sebagai “daya ungkit” (leverage) dalam upaya implementasi CG secara substantif. Disamping berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi praktik CG (seperti untuk BUMN, perusahaan yang Go-publik, institusi perbankan), maka telah dilakukan perbaikan terhadap lembaga KNKCG. Lembaga yang awalnya menggunakan nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) selanjutnya berubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Perubahan nama lembaga juga ini juga diikuti dengan perubahan paradigma pendekatan implementasi governance secara sistematis. Hal ini terbukti dengan memperhatikan governance untuk sektor publik (public sector governance), karena secara sistem keberadaan institusi publik berhubungan dengan institusi privat seperti perusahaan atau corporate.

Perkembangan institusi menjadi KNKG juga menandai perlunya perhatian yang berimbang antara implementasi CG di dua sektor utama tersebut; institusi korporasi yang bergerak di sektor riil dan institusi publik yang bergerak dan berhubungan dengan penyediaan infrastruktur dan kebijakan (termasuk moneter) yang akan mendorong berjalannya sektor korporasi secara lebih baik. Disamping perbaikan institusi KNKG, perkembangan lainnya yang dominan selama periode awal ini adalah dengan dikeluarkannya Pedoman CG baru (versi 2006) yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari pedoman CG (governance code) versi tahun 2000. Namun demikian, terlepas dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, implementasi CG di Indonesia belum mencapai tahap optimal yang diharapkan. Kurva PEM Governance pada gambar 1 di atas, memperlihatkan pasang surut implementasi CG selama periode tersebut, walaupun telah mengalami peningkatan yang berarti.

1. Tahap Introduction
Pada tahap sebelumnya (1997-2007) diasumsikan telah dilalui tahap Awareness. Pada tahapan ini “aware” (peduli) berhubungan dengan pemahaman terhadap keberadaan (apa, siapa, bagaimana, kapan dan dimana) terhadap berbagai aspek CG. Hal ini telah dilakukan melalui “sosialisasi dan komunikasi” terhadap stakeholders (internal and eksternal) dari setiap organisasi yang menerapkan governance. Dalam jangka waktu satu dekade dan diikuti dengan berbagai upanya nyata oleh berbagai pihak, maka tahapan ini dapat dianggap telah dilalui secara baik. Dengan demikian, untuk periode berikutnya (2007-2016), diharapkan fase implementasi CG di Indonesia telah dapat memasuki tahap berikutnya walaupun masih dalam kualitas penerapan masih mengacu kepada “conformity”.

2. Tahap Conformance
Pada tahap conformance di periode 2007-2016, akan dilalui tiga tahapan berikutnya yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, tahapan understanding atau memahami isu CG melebihi prinsip-prinsip dasar yang ada (TARIF), sehingga komunikasi menjadi lebih intensif karena memunculkan berbagai pertanyaan substansial tentang CG dan penerapannya. Pada penerapan ini, seharusnya para pelaku bisnis yang menerapkan CG sudah harus mempunyai kreangka pikir “beyond compliance” sehingga esensi dari CG telah dapat dipahami dengan baik. Namun demikian,pemahaman secara baik saja tidak cukup untuk mencapai penerapan kualitas CG yang lebih baik. Untuk itu diperlukan tahapan berikutnya berupa keinginan dari berbagai pihak untuk menerapkan CG secara sadar dan substansial.

Tahapan willingness to adopt berhubungan dengan pemahaman terhadap isu substantif CG, dengan pengertian bahwa CG tidak mempunyai arti jika tidak diikuti oleh keinginan (willingness) dari seluruh perangkat organisasi terkait untuk mengadopsi dan menerapkannya di dalam organisasi. Di dalam hal ini yang diperlukan adalah kesediaan untuk merubah cara berpikir (mindset) melalui change management yang terencana secara baik. Pada tahapan ini diasumsikan bahwa keinginan menerapkan perlu dilakukan untuk dapat memasuki tahapan substansial berupa komitmen untuk menerapkannya.

Pada tahapan commitment, pemahaman dan kesediaan menerima dan menerapkan prinsip governance sangat ditentukan oleh komitmen seluruh stakeholder di dalam mendukung implementasi CG (secara formal ditandai dengan penandatanganan pakta integritas, governance charter dan sebagainya). Jika dihubungkan dengan proses sekuensial penerapan CG sebelumnya, maka komitmen menerapkan ini tidak akan dapat dilakukan jika para governance stakeholders tidak peduli (aware) dengan keberadaan dan manfaat CG, tidak memahami (understanding) fungsi dan peranan serta tujuan CG yang dilanjutkan dengan adanya “niat” (willingness) untuk menerapkannya.

Upgrading posisi implementasi CG di Indonesia ke level medium diperkirakan akan terjadi pada tahiun 2012 yang diperkirakan terjadi pada tahapan “willingness to adopt”. Namun demikian hal ini hanya bisa di capai jika tahapan dan proses sebelumnya dilalui dengan baik serta memperoleh hasil optimal. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan posisi ini baru dapat di up-grade setelah memasuki tahapan committment. Sehingga dapat disimpulkan bahwa percepatan implementasi CG dan capaian (outcomes) dari hasil implementasi tersebut sangat ditentukan oleh partisipasi dan dorongan semua pihak atau stakeholders yang terlibat di dalam sistem governance.

3. Tahap Performance and Improvement
Diperkirakan, penerapan CG mencapai tahapan yang lebih baik (good) setelah memasuki periode ke tiga (2016-2022). Hal ini hanya dapat terlaksana jika semua proses sebelumnya dilalui secara baik. Pada tahapan ini esensi penerapan CG diperkirakan sudah memasuki tahapan performance. Pada tahapan ini seluruh perangkat organisasi (sub-system) telah menerapkan CG didukung perubahan mindset yang ada, sehingga muncul slogan “from conformance to performance”.

Pada tahapan ini, dengan asumsi seluruh perangkat governance yang dibutuhkan (governance structure dan governance system/termasuk governance mechanism) telah berjalan secara baik , maka outcomes “awal” dari implementasi governance seharusnya sudah dapat dirasakan (e.g. reduce of conflict of interests, improved performance, efficient allocation of resources dll). Sesuai dengan sudut pandang bahwa governance sebagai suatu system dan berada dalam suatu system yang lebih besar (NKRI), maka pada tahapan ini juga diperlukan pemahaman dan jaminan terhadap sustainability dari implementasi CG. Hal ini hanya dapat dicapai jika organisasi bersifat “dinamis” terhadap perubahan lingkungan serta melakukan berbagai “perubahan” secara “proaktif” (bukan reaktif). Pada tahapan lebih jauh, implementasi governance seharusnya sudah menjadi “jiwa” (soul) dari setiap individu dan elemen organisasi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Sehingga pada tahapan ini CG sudah menjadi “embedded culture” dalam setiap organisasi. Pada tahap lanjutan yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menjaga sustainablity penerapan CG secara substansial.

4. Tahap Sustainable
Pada tahap ini, terlepas dari berbagai uraian di atas, perlu dicatat beberapa hal berikut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari implementasi CG di Indonesia sesuai dengan format yang telah direncanakan.(1) Setiap organisasi dengan kondisi internal (walaupun berada dalam kondisi eksternal yang relatif sama dan uncontrollable) adalah berbeda, dan pada akhirnya akan memperoleh hasil penerapan CG secara berbeda pula. (2) diagnosis yang tepat terhadap kondisi organisasi serta desain system CG yang sesuai (appropriate) sangat menentukan tingkat kesuksesan implementasi CG. (3) Untuk kondisi Indonesia, tahap conformance (stage 1) telah berjalan cukup lama (1997-2007), namun belum mencapai/memasuki tahap performance (stage 2), diantaranya diduga karena tidak dapat melalui tahapan dalam stage 1 secara baik dan gradual. (4) Faktor eksternal terhadap kesuksesan implementasi CG (seperti rules and regulations, enforcement & culture) belum mendukung sepenuhnya penerapan CG di Indonesia. Dengan demikian diperlukan adanya dukungan dari seluruh elemen sub-sistem di dalam memperkuat CG sistem yang ada di dalam menjamin implementasi dan pencapaian CG outcomes.

Kesimpulan
Pada saat ini hasil penilaian atas good governance Negara Indonesia oleh Transparansi Internasional masih menunjukkan capaian dibawah angka ‘phychologis’ (4 dari skala 10). Sejak krisis ekonomi tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 hasil penilaian good governance negara Indonesia masih berkisar angka + 2,5. Dalam kacamata Governance, masih rendahnya capaian penilaian good governance ini memberikan indikasi bahwa governance Indonesia masih dalam tahap pengenalan ‘introduction’ yaitu masih bersifat kepedulian ‘awareness. Pada tahapan ini praktek-praktek good governance masih mengejar untuk memenuhi formalitas dibandingkan substansinya (forms over substance).

Ke depan praktek-praktek good governance atas sistim anggaran sudah harus ditambah dengan spirit pemahaman ‘understanding’, keinginan ‘willingness’, dan komitmen ‘commitment’. Hijrah dari forms over substance menuju substance over forms membutuhkan penyempurnaan mekanisme governance dengan aura ketiga spirit tersebut. Mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme governancenya, Insya Allah dalam waktu 5 (lima) tahun ke depan Negara Indonesia sudah bisa melewati angka phychologis nilai 4. Tantangan Fungsi Internal Auditor ke depan adalah bagaimana menilai praktek-praktek CG untuk mendapatkan update mekanisme governance yang ada sehingga selalu terjadi continous and feedback control dalam upaya selalu menciptakan better performance dan better competition. Untuk itu profesi internal auditor harus selalu mengedepankan capaian parameter governance yang handal (credible score for 4C).

No comments:

Post a Comment