Pages

Thursday, April 15, 2010

Indonesia: Raksasa Pada 2050?


Baru-baru ini Danone, sebuah perusahaan barang konsumsi Prancis, memutuskan melepaskan investasinya di sejumlah negara Asia Pasifik, untuk kemudian dikonsentrasikan di tiga negara: Cina, India, dan Indonesia. Keputusan ini barangkali didorong oleh keberhasilan bisnis Danone di tiga negara itu.

Di Indonesia sendiri, Danone mengambil alih kepemilikan Aqua dan menjadikannya sebagai salah satu perusahaan air mineral terbesar di dunia. Sejak diambil alih pada 2001 oleh perusahaan Prancis tersebut, penjualan Aqua telah naik lima kali lipat.

Akuisisi Aqua mirip dengan langkah Unilever Indonesia yang mengambil alih mayoritas kepemilikan Kecap Bango pada 2001. Unilever berhasil menyulap Kecap Bango menjadi perusahaan kecap yang sangat besar dengan penjualan yang berlipat sampai enam kali dalam lima tahun.

Pengambilalihan perusahaan barang konsumsi ini belakangan juga diikuti raksasa tembakau dunia Philip Morris. Perusahaan ini membeli saham Putera Sampoerna di PT H.M. Sampoerna, salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Apakah kenaikan penjualan yang fantastis pada Aqua dan Kecap Bango juga akan terjadi pada pabrik rokok tersebut, waktulah yang akan membuktikannya.

Cerita lain datang dari Lafarge. Perusahaan semen terbesar di dunia asal Prancis
ini semula berniat mengakuisisi saham Cemex di Semen Gresik. Namun belakangan mereka memutuskan untuk membangun kembali Semen Andalas miliknya di Aceh yang hancur diterjang tsunami.

Langkah ini mengikuti dua perusahaan semen raksasa dunia lainnya yang telah mengakuisisi dua perusahaan semen di Indonesia. Heidelberger, raksasa semen nomor empat di dunia asal Jerman, telah mengambil oper kepemilikan Salim di Indocement. Holcim, pemain semen terbesar kedua di dunia dari Swiss, juga telah mengambil alih Semen Cibinong. Dengan perkembangan tersebut, industri semen di Indonesia tampaknya akan didominasi pemain Eropa, setelah Cemex menarik diri dari Semen Gresik.

Di industri otomotif, Toyota, Honda, Daihatsu, Suzuki, Yamaha, dan perusahaan otomotif Jepang lainnya secara agresif mulai menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Daihatsu saat ini mengekspor 50 ribu mobil dalam bentuk completely knocked down (CKD) setiap tahun.

Demikian juga Toyota, yang mengirimkan Toyota Innova ke luar negeri dalam
jumlah yang hamper sama. Tak mau ketinggalan, TVS, perusahaan motor terbesar ketiga
di India, juga menanamkan modal di Tanah Air dengan rencana besar menjadikan
Indonesia sebagai basis produksi untuk Asia Tenggara.

Di industri elektronik, LG dan Samsung telah menjadikan Indonesia sebagai basis produksi industri elektronika mereka. Perusahaan elektronik Korea tersebut bahkan terus berekspansi untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa hengkangnya Sony dari Indonesia tidak bersifat universal di industri elektronika, tetapi lebih merupakan langkah konsolidasi bagi perusahaan elektronik Jepang itu.

Sederet perkembangan itu menunjukkan bahwa secara diam-diam proses konsolidasi investasi sesungguhnya mulai terjadi di Indonesia. Ini tentu tak lepas dari tujuan jangka menengah-panjang perusahaan-perusahaan itu: mempersiapkan diri menjadi perusahaan yang memiliki fondasi kuat di negara yang diperkirakan memiliki prospek yang sangat cerah.

Perkembangan tersebut tampaknya sejalan dengan apa yang diprediksi oleh John Hawksworth, ahli makroekonomi global dari Inggris. Hasil studinya itu telah dipublikasikan oleh PricewaterhouseCoopers, salah satu kantor akuntan terbesar di dunia, pada Maret silam, dengan judul The World in 2050.

Kesimpulan senada sebelumnya juga disuarakan raksasa bank investasi dunia Goldman Sachs. Hasil studi yang dibuat D. Wilson dan R. Purushothaman ini tertuang dalam Global Economics Paper nomor 99, Oktober 2003, berjudul Dreaming with BRICs: The Path to 2050. Studi semacam ini pun memiliki banyak kemiripan dengan The East Asian Miracles, yang diterbitkan oleh Bank Dunia sebelum krisis Asia beberapa tahun lalu.

Dalam hasil studinya Hawksworth mengatakan bahwa perekonomian global bakal diwarnai oleh kebangkitan raksasa-raksasa baru dari negara berkembang (emerging countries), yang dikenal dengan sebutan E7 atau Emerging Seven. Mereka tergabung dalam negara BRIC, yaitu Brasil, Rusia, India, dan Cina. Tiga negara lainnya adalah Meksiko, Turki, dan Indonesia.

Dikatakan bahwa ketujuh negara E7 tersebut pada 2050 akan memiliki perkenomian yang lebih besar dibanding negara G7. Seberapa besar? Tergantung nilai tukar yang dipergunakan. Jika nilai tukar pasar yang dipakai, perekonomian E7 akan lebih besar 25 persen. Sedangkan jika PPP (Purchasing Power Parity) yang dipergunakan, perekonomian E7 akan 75 persen lebih besar dibandingkan dengan negara- negara G7.

Lantas, di mana posisi Indonesia? Perekonomian Indonesia saat ini besarnya
kurang lebih sama dengan Arab Saudi, yaitu di peringkat 26 dunia. Namun pada 2050 perekonomian Indonesia diperkirakan akan membengkak setara dengan 19 persen perekonomian Amerika Serikat, baik diukur dengan menggunakan nilai tukar pasar maupun nilai tukar PPP.

Dengan nilai tukar pasar, Indonesia diprediksi akan berada pada peringkat ke-6, sesudah Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, dan Brasil. Jika benar begitu, perekonomian Indonesia saat itu akan melampaui perekonomian Jerman, Inggris, Italia, Kanada, Rusia, dan Korea.

Bagaimana itu mungkin terjadi? Apakah semata-mata karena jumlah penduduk Indonesia yang besar, seperti halnya Cina dan India? Ataukan juga disebabkan oleh pendapatan per kepala yang juga tinggi? Menurut Hawksworth, pendapatan per kepala Indonesia pada 2005 sebesar US$ 1.249, jika diukur dengan nilai tukar pasar. Sedangkan jika diukur dengan nilai tukar PPP sebesar US$ 3.702.

Besaran itu akan melonjak jauh pada 2050, kata Haksworth. Ia memprediksi pendapatan per kepala Indonesia bakal melesat menjadi US$ 23.097 berdasarkan nilai tukar pasar, dan US$ 23.686 jika diukur dengan PPP.

Tentu banyak pihak yang skeptis dengan prediksi yang seperti mimpi itu. Tapi kita tak boleh lupa dengan sebuah studi Bank Dunia. Studi tersebut telah membantu mengarahkan mata para investor mengenai besarnya peluang untuk berinvestasi di negara Asia Timur. Jika saja krisis ekonomi tidak datang mendera, bukan tidak mungkin kemakmuran yang lebih besar bahkan akan menghampiri kawasan ini.

Melihat beruntunnya tulisan dari Goldman Sachs hingga PricewaterhouseCoopers, dapat diduga bahwa pada masa mendatang studi serupa akan bermunculan. Mata investor dunia pun akan semakin tertuju ke kawasan ini. Karena itu, tak berlebihan jika dinyatakan bahwa dalam jangka pendek dan menengah, kita akan banyak menyaksikan hadirnya investasi dari luar negeri di Tanah Air.

Kita tahu, di industri perbankan, sudah lebih dari separuh kepemilikan bank domestik berada dalam genggaman asing. Perkembangan tersebut diperkuat dengan hadirnya State Bank of India yang mengabil oper Bank Indomonex. Jagat perbankan kian riuh dengan kabar belum lama ini yang memberitakan akuisisi Bank Haga dan Hagakita oleh Rabobank dari Belanda. Dan tampaknya perkembangan caplok-mencaplok di industri perbankan masih belum akan berhenti sampai di sini.

Di industri telekomunikasi, kita pun menyaksikan hadirnya investor mancanegara
seperti Singapore Telecom yang menguasai sebagian kepemilikan saham di Telkomsel, serta Singapore Technologies Telemedia yang memiliki saham mayoritas di Indosat. Begitu juga Telkom Malaysia sudah melakukan investasi di Indonesia.

Dengan kian derasnya aliran investasi ke dalam negeri, kita sudah selayaknya berharap bahwa perekonomian Indonesia sebetulnya tidaklah sesuram yang digambarkan. Bahkan gambaran cerah diprediksi PricewaterhouseCoopers memunculkan harapan yang lebih besar akan masa depan perekonomian Indonesia.

Ini memang sebuah mimpi. Tapi prediksi bahwa Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi pada 2050 perlu kita perhatikan secara serius. Optimisme semacam ini sering akan self fulfilling. Apa yang sepenuh hati kita harapkan pada akhirnya akan menjadi kenyataan.

Oleh: Cyrillus Harinowo
WinPlus Capital

*Artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah Tempo tanggal 27 Agustus 2006

No comments:

Post a Comment